LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)
I. Limbah berdasarkan Pasal 1 angka (20) Undang-Undang No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Selanjutnya, Limbah bahan
berbahaya dan beracun (Limbah B3 berdasarkan Pasal 1 angka (22) UUPPLH
adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. Kemudian,
Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 berdasarkan
Pasal 1 angka (20) UUPPLH adalah zat, energi, dan/atau komponen lain
yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan
hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Pengelolaan limbah B3 berdasarkan Pasal 1 angka (23) UUPPLH adalah
kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 berdasarkan Pasal 59 ayat
(7) UUPPLH, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Memperhatikan ketentuan Pasal 124 UUPPLH yang menetapkan masih
berlakunya peraturan pelaksana UUPLH, sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti. Adapun Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang
Pengelolaan Limbah B3 saat ini yaitu: Peraturan Pemerintah No. 18
Tahun1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PP No.
18/1999), yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan Peraturan
Pemerintah No. 85 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (PP No. 85/1999. PP No. 18/1999).
Berdasarkan Pasal 8 PP 85/1999, mengenai limbah yang dihasilkan dari
kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran Tabel I, Tabel 2 PP 85/1999,
apabila terbukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) PP 85/1999 dan atau ayat
(4), maka limbah tersebut merupakan limbah B3, jika limbah tersebut
berdasarkan uji karekteristik mudah meledak, mudah terbakar, bersifat
reaktif, beracun, menyebabkan infeksi dan korosif, dan/atau berdasarkan
pengujian toksikologi limbah tersebut bersifat akut dan/atau kronik.
Pengelolaan Limbah B3, berdasarkan Pasal 1 angka (3) PP 18/1999
adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan
limbah B3.
Berkaitan dengan pengelolaan limbah B3, Pasal 59 UUPPLH, menentukan bahwa:
1. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
2. Dalam hal B3 yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menghasilkan B3, mengangkut B3, mengedarkan B3,
menyimpan B3, memanfaatkan B3, membuang B3, mengolah B3, dan atau
menimbun B3 yang telah kedaluwarsa, maka pengelolaannya mengikuti
ketentuan pengelolaan limbah B3.
3. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
4. Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
5. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan
persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang
harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.
6. Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
II. Kewajiban setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatannya, termasuk
pengelolaan B3. Pengelolaan hasil dari usaha dan/atau kegiatan tersebut
dapat dilakukan secara sendiri atau diserahkan kepada pihak lain.
Pengertian pengelolaan limbah tidak terbatas pada pengelolaan limbah
belaka, tetapi merupakan kegiatan yang mencakup penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan pengolahan limbah termasuk
penimbunan hasil limbah tersebut. Pengelolaan limbah bertujuan untuk
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh limbah usaha dan atau kegiatan serta
melakukan pemulihan kualitas lingkungan hidup yang tercemar dengan
harapan bisa difungsikan kembali sesuai dengan peruntukkannya.
Pengelolaan limbah tidak saja meminimisasi limbahnya saja, melainkan
memproses kembali limbah tersebut dengan menggunakan teknologi tertentu
untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahan dan beracun limbah agar
tidak membahayakan kesehatan manusia dan sekaligus dapat mencegah
terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Membuang limbah secara langsung ke media lingkungan dapat menimbulkan
bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup
lainnya. Mengingat resiko yang ditimbulkan dari limbah B3, maka perlu
diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat meminimalkan limbah yang
dihasilkan dengan cara melakukan pengelolaan secara khusus.
Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) PP No. 18/1999, setiap Badan Usaha yang melakukan kegiatan:
a. penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau
penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi
yang bertanggung jawab;
b. pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin
pengangkutan dari Menteri Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari
Kepala instansi yang bertanggung jawab;
c. pemanfaatan limbah B3
sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari instansi
yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi
dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf “b” sampai “f” UUPPLH ditegaskan bahwa:
1. setiap orang dilarang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan ke dalam wialayah Negara kesatuanRepublik Indonesia.
2. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia ke media lingkungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3. Memasukkan limbah B3 ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Membuang limbah ke media lingkungan hidup.
5. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
Memperhatikan kembali ketentuan Pasal 124 UUPPLH yang menetapkan
masih berlakunya peraturan pelaksana UUPLH, sepanjang tidak bertentangan
atau belum diganti, maka PP No. 18/1999, yang kemudian diubah dan
disempurnakan dengan PP No. 85/1999. PP No. 18/1999 sebagaimana yang
telah diubah dengan PP No. 85/1999 dinyatakan masih tetap berlaku, maka
ketentuan mengenai Perizinan dalam Pengelolaan Limbah B3, di atur dalam
Pasal 40 sampai Pasal 46 PP No. 18/1999.
Perizinan pengelolaan limbah B3 tersebut, diatur dalam ketentuan
Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2009
tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun
(PermenLH No. 18/2009), ditetapkan:
1. Jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilengkapi dengan izin terdiri atas kegiatan:
a. pengangkutan;
b. penyimpanan sementara;
c. pengumpulan;
d. pemanfaatan;
e. pengolahan; dan
f. penimbunan.
2. Penghasil limbah B3 tidak dapat melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3.
3. Kegiatan pengumpulan limbah B3 hanya dapat diberikan izin apabila:
a. telah tersedia teknologi pemanfaatan limbah B3; dan/atau
b. telah memiliki kontrak kerja sama dengan pihak pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
4. Kontrak kerja sama penyimpanan sementara limbah B3 wajib memuat
tanggung jawab masing-masing pihak bila terdapat pencemaran lingkungan.
5. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 dapat berupa a. kegiatan utama; atau b. bukan kegiatan utama.
Kegiatan pengelolaan Limbah B3 berdasarkan ketentuan Pasal 3 PermenLH 18/2009, ditetapkan bahwa:
1. kegiatan pengangkutan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri
yang menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan setelah mendapat
rekomendasi dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
2. kegiatan penyimpanan sementara limbah B3 wajib memiliki izin dari Bupati/Walikota.
3. kegiatan pengumpulan limbah wajib memiliki izin dari:
a. Menteri untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional setelah mendapat rekomendasi dari gubernur;
b. Gubernur untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau
c. Bupati/Walikota untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.
4. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari instansi
terkait sesuai kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Menteri
Negara Lingkungan Hidup.
5. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
6. Kegiatan pengolahan dan penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Permohonan rekomendasi Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PermenLH No. 18/2009 wajib dilengkapi
dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PermenLH No.
18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PermenLH No.
18/2009.
Pengangkutan limbah B3 hanya diperkenankan jika penghasil telah
melakukan kontrak kerja sama dengan perusahaan pemanfaatan limbah B3,
penimbun limbah B3, pengolah limbah B3, dan/atau pengumpul limbah B3.
Pengelolaan limbah B3 yang membutuhkan uji coba alat, instalasi
pengolahan, metode pengolahan, dan/atau pemanfaatan harus lebih dahulu
mendapat persetujuan uji coba dari Menteri. Kewenangan penerbitan
persetujuan uji coba yang dimaksud didelegasikan kepada Deputi Menteri.
Dan pelaksanaan uji coba tersebut disaksikan oleh staf Kementerian
Negara Lingkungan Hidup.
Usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk
antara yang dihasilkan dari usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah
B3 tidak diwajibkan memiliki izin, namun Produk tersebut harus telah
melalui suatu proses produksi dan memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI), standar internasional, atau standar lain yang diakui oleh
nasional atau internasional.
Kewenangan penerbitan surat rekomendasi
kegiatan pengangkutan, penyimpanan sementara, pengumpulan, pemanfaatan,
pengolahan, penimbunan limbah B3 dan kontrak kerjasama penyimpanan
sementara limbah B3 serta izinnya, berdasarkan ketentuan Pasal 7
PermenLH 18/2009 dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 8 PermenLH No. 18/2009,
Perusahaan yang kegiatan utamanya pengelolaan limbah B3 dan/atau
mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri wajib memiliki
asuransi pencemaran lingkungan hidup terhadap atau sebagai akibat
pengelolaan limbah B3. Batas pertanggungan/tanggung jawab asuransi
ditetapkan paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Perusahaan yang kegiatan utamanya berupa pengelolaan limbah B3
dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri,
berdasarkan ketentuan Pasal 9 PermenLH No. 18/2009, wajib memiliki :
a. laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan; dan
b. tenaga yang terdidik di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3.
Kewajiban memiliki laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3
di lokasi kegiatan dan tenaga yang terdidik di bidang analisa dan
pengelolaan limbah B3, dikecualikan terhadap jenis kegiatan pengangkutan
limbah B3.
Permohononan mengajukan surat permohonan izin pengelolaan limbah B3,
berdasarkan Pasal 10 PermenLH No. 18/2009 kepada Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dan permohonan izin
tersebut dilakukan dengan mengisi formulir permohonan izin pengelolaan
limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II PermenLH No. 18/2009
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Permohonan izin tersebut
wajib dilengkapi dengan persyaratan minimal sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari PermenLH No. 18/2009.
Permohonan uji coba pengelolaan limbah B3 wajib dilengkapi dengan
persyaratan minimal dan menggunakan formulir permohonan uji coba
pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran IV PermenLH
No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Proses keputusan izin, berdasarkan Pasal 11 PermenLH No. 18/2009, dilakukan melalui tahapan:
1. penilaian administrasi yaitu penilaian kelengkapan persyaratan administrasi yang diajukan pemohon.
2. verifikasi teknis yaitu penilaian kesesuaian antara persyaratan yang
diajukan oleh pemohon dengan kondisi nyata di lokasi kegiatan yang
dilengkapi dengan Berita Acara.
3. penetapan persyaratan dan ketentuan teknis yang dimuat dalam izin yang akan diterbitkan, dan
4. finalisasi keputusan izin oleh Menteri.
Terhadap permohonan izin tersebut, berdasarkan Pasal 12 PermenLH No.
18/2009 dapat berupa penerbitan atau penolakan izin. Penolakan izin
harus disertai dengan alasan penolakan. Kewenangan penolakan izin dapat
didelegasikan kepada Deputi Menteri. Keputusan izin dimaksud dalam Pasal
11 PermenLH N0.18/2009 diterbitkan paling lama 45 (empat puluh lima)
hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permohonan izin secara
lengkap. Dalam hal permohonan izin belum lengkap atau belum memenuhi
persyaratan, surat permohonan izin dikembalikan kepada pemohon.
Izin yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d
PermenLH No. 18/2009 berbentuk Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Surat Keputusan Menteri tersebut paling sedikit memuat:
a. identitas perusahaan yang meliputi nama perusahaan, alamat, bidang usaha, nama penanggung jawab;
b. jenis pengelolaan limbah B3;
c. lokasi/area kegiatan pengelolaan limbah B3;
d. jenis dan karakteristik limbah B3;
e. kewajiban yang harus dilakukan;
f. persyaratan sebagai indikator dalam melakukan kewajiban;
g. masa berlaku izin;
h. sistem pengawasan; dan
i. sistem pelaporan.
Masa berlaku izin 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Permohonan
perpanjangan izin diajukan kepada Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota 2 (dua) bulan sebelum masa berlaku izin berakhir.
Permohonan perpanjangan izin menggunakan formulir permohan perpanjangan
izin sebagaimana tercantum dalam Lampiran V PermenLH No. 18/2009 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Apabila terjadi perubahan terhadap jenis, karakteristik, jumlah,
dan/atau cara pengelolaan limbah B3, berdasarkan Pasal 16 PermenLH
18/2009, pemohon wajib mengajukan permohonan izin baru.
Pengawasan terhadap penaatan izin pengelolaan limbah B3 sesuai dengan
Pasal 17 PermenLH No. 18/2009 dilakukan oleh Menteri, Gubernur,
dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan
pengawasan dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH)
dan/atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD).
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 PermenLH No. 18/2009, usaha dan/atau
kegiatan pengangkutan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, dan
penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama dan/atau mengelola limbah B3
yang bukan dari kegiatan sendiri yang telah memiliki izin wajib
menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1) PermenLH No.
18/2009 paling lama 6 (enam) bulan. PermenLH 18/2009 mulai berlaku pada
tanggal 22 Mei 2009.
III. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, selanjutnya disebut Limbah
B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun
yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan
lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia,
sedangkan Limbah Non B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
berupa sisa, skrap atau reja yang tidak termasuk dalam
klasifikasi/kategori limbah bahan berbahaya dan beracun.
Perbedaan antara Limbah B3 dengan Limbah Non B3 terletak pada
terkandung tidaknya bahan berbahaya dan beracun pada limbah yang
bersangkutan. Jika limbah tersebut mengandung B3 maka limbah tersebut
dikatakan Limbah B3, jika limbah tersebut tidak mengandung B3, maka
limbah tersebut dikatakan limbah non B3.
Berdasarkan ketentuan PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR : 39/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG KETENTUAN IMPOR LIMBAH NON
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (NON B3), pengertian sisa dalam limbah non
B3 adalah produk yang belum habis terpakai dalam proses produksi atau
barang, yang masih mempunyai karakteristik yang sama namun fungsinya
telah berubah dari barang aslinya.
Pengertian Skrap dalam limbah non B3 adalah barang yang terdiri dari
komponen-komponen yang sejenis atau tidak, yang terurai dari bentuk
aslinya dan fungsinya tidak sama dengan barang aslinya. Dan pengertian
Reja dalam limbah non B3 adalah barang dalam bentuk terpotong-potong dan
masih bersifat sama dengan barang aslinya namun fungsinya tidak sama
dengan barang aslinya.
Terkait dengan pengimport besi skrap yang tidak termasuk ke dalam
limbah B3 atau Limbah Non B3 ketentuannya diatur dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang
Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri tersebut di atas, Limbah Non B3
yang dapat diimpor hanya berupa Sisa, Skrap atau Reja yang digunakan
untuk bahan baku dan/atau bahan penolong industri sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya
dan Beracun (Non B3). Limbah Non B3 hanya dapat diimpor oleh perusahaan
yang melakukan kegiatan usaha industri dan telah mendapat Pengakuan
sebagai Importer Produsen Limbah Non B3 dari Direktur Jenderal.
Pengakuan sebagai Importer Produsen Limbah Non B3 sebagaimana dimaksud
paling sedikit memuat jumlah dan jenis Limbah Non B3 yang dapat diimpor
oleh Importer Produsen Limbah Non B3 beserta ketentuan teknis
pelaksanaan importasinya.
Menurut Pasal 1 angka (6) dan angka (7) Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor
Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), Importir Produsen
Limbah Non B3 (IP LimbahNon B3) adalah perusahaan yang melakukan
kegiatan usaha industri yang disetujui untuk mengimpor sendiri Limbah
Non B3 yang diperlukan semata-mata untuk proses produksi dari
industrinya dan tidak boleh diperdagangkan dan/atau dipindahtangankan
kepada pihak lain, sedangkan Eksportir Limbah Non B3 adalah perusahaan
di negara dimana Limbah Non B3 dihasilkan dan/atau dikapalkan yang
melakukan pengiriman Limbah Non B3 ke Indonesia.
Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan
Berbahaya dan Beracun (Non B3), setiap pelaksanaan impor Limbah Non B3
oleh IP Limbah Non B3 wajib dilengkapi Surat Pernyataan dari Eksportir
Limbah Non B3, yang menyatakan bahwa:
a. limbah yang diekspor bukan merupakan Limbah B3; dan
b. bersedia bertanggung-jawab dan menerima kembali Limbah Non B3 yang
telah diekspornya apabila Limbah Non B3 tersebut terbukti sebagai Limbah
B3. Dalam hal Limbah Non B3 yang diimpor sebagian atau seluruhnya
terbukti sebagai Limbah B3 Limbah Non B3 dimaksud wajib dikirim kembali
oleh IP Limbah Non B3 paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak
kedatangan barang berdasarkan dokumen kepabeanan yang berlaku.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor
Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), diatur bahwa IP Limbah
Non B3 wajib menyampaikan laporan tertulis baik melakukan maupun tidak
melakukan impor Limbah Non B3 setiap 3 (tiga) bulan sekali paling lambat
pada tanggal 15 bulan berikutnya. Laporan sebagaimana dimaksud
disampaikan melalui http://inatrade.depdag.go.id,
dan bentuk laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dala
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya
dan Beracun (Non B3).
Setiap importasi Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non B3 berdasarkan
ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan
Berbahaya dan Beracun (Non B3), wajib dilakukan verifikasi atau
penelusuran teknis di negara muat sebelum dikapalkan.
Pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis dilakukan oleh
Surveyor yang telah memenuhi persyaratan teknis, dan ditetapkan oleh
Menteri. Suveyor yang telah memenuhi persyaratan teknis adalah telah: a.
memiliki Surat Izin Usaha Jasa Survey (SIUJS), berpengalaman sebagai
surveyor minimal 5 (lima) tahun; c. memiliki cabang atau perwakilan
dan/atau afiliasi di luar negeri dan memiliki jaringan sistem informasi
untuk mendukung efektifitas pelayanan verifikasi; dan d. mempunyai
rekam-jejak (track records) di bidang pengelolaan kegiatan verifikasi
impor.
Ruang lingkup pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis
mencakup: a. identitas (nama dan alamat) importir dan eksportir dengan
benar dan jelas; b. nomor dan tanggal Pengakuan sebagai IP Limbah Non
B3; c. jumlah/volume atau berat, jenis dan spesifikasi, serta nomor pos
tarif/HS Limbah Non B3 yang diimpor; d. keterangan waktu dan negara
pengekspor/pelabuhan muat Limbah Non B3 yang diimpor; e. keterangan
tempat atau pelabuhan tujuan bongkar Limbah Non B3 yang diimpor; f.
keterangan dari eksportir berupa Surat Pernyataan Surat Pernyataan
bahwa: limbah yang diekspor bukan merupakan Limbah B3 dan bersedia
bertanggung-jawab dan menerima kembali Limbah Non B3 yang telah
diekspornya apabila Limbah Non B3 tersebut terbukti sebagai Limbah B3.;
dan g. keterangan lain apabila diperlukan. Dalam melaksanakan kegiatan
verifikasi atau penelusuran teknis, surveyor dapat melakukan kerjasama
dengan surveyor yang berada di luar negeri.
Hasil verifikasi atau penelusuran teknis berdasarkan ruang lingkup
dituangkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) untuk digunakan sebagai
dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor.
Surveyor wajib menyampaikan laporan mengenai kegiatan verifikasi atau
penelusuran teknis secara tertulis kepada Direktur Jenderal setiap bulan
pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
Untuk bisa memasukan Limbah Non B3 maka perusahaan tersebut harus
memiliki izin Importir Produsen (IP) Limbah Non B3. IP Limbah Non B3
merupakan produsen yang diakui oleh Menteri Perindustrian dan
Perdagangan dan disetujui untuk mengimpor sendiri limbah Non B3 yang
diperlukan semata mata untuk proses produksinya. Kewenangan pemberian
Izin Usaha Limbah Non B3 berada pada Dirjen Perdagangan Luar Negeri,
Departemen Perdagangan di Jakarta. Untuk mendapatkan Izin Usaha (IU)
Limbah Non B3, diajukan permohonan kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri
dengan melampirkan diantaranya: Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP),
Angka Pengenal Importir Umum (API-U), Tanda Daftar Perusahaan (TDP),
NPWP, Bukti pemilikan/penguasaan gudang penimbunan yang telah diakui
oleh departemen teknis/lembaga pemerintah.
Dalam hal kegiatan import besi skrap dengan tujuan Indonesia,
kemudian ternyata besi skrap tersebut berdasarkan Uji Laboratorium
merupakan besi skrap yang positif mengandung Limbah B3, maka
memperhatikan ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2009 yang
menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur
dalam Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Pemerintah yang mengatur
tentang Pengelolaan Limbah B3 yaitu PP No. 18 tahun 1999 dan PP No. 85
tahun 1999.
Menurut ketentuan Pasal 53 ayat (1) PP No. 18 Tahun 1999, diatur
bahwa: setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3, selanjutnya
dalam Pasal 53 ayat (7) PP No. 18 Tahun 1999 menetapkan bahwa ketentuan
lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh Menteri yang
ditugasi dalam Bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari
Kepala instasi yang bertanggungjawab. Berdasarkan Peraturan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan
Impor Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ditetapkan bahwa impor
limbah B3 sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3
dan/atau beracun yang sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup
lainnya.
Jika terjadi suatu impor yang muatannya, misalnya berupa besi skrap
yang positif mengandung B3 (Limbah B3) maka berdasarkan ketentuan yang
berlaku tidak dapat diimpor masuk ke Indonesia. Berdasarkan ketentuan
Pasal 6 Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3), setiap pelaksanaan impor Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non
B3 wajib dilengkapi Surat Pernyataan dari Eksportir Limbah Non B3, yang
menyatakan bahwa: a. limbah yang diekspor bukan merupakan Limbah B3; dan
b. bersedia bertanggung-jawab dan menerima kembali Limbah Non B3 yang
telah diekspornya apabila Limbah Non B3 tersebut terbukti sebagai Limbah
B3. Dalam hal Limbah Non B3 yang diimpor sebagian atau seluruhnya
terbukti sebagai Limbah B3 maka Limbah Non B3 dimaksud wajib dikirim
kembali oleh IP Limbah Non B3 paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak
kedatangan barang berdasarkan dokumen kepabeanan yang berlaku.
Ketentuan Pasal 13 Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3), menetapkan bahwa Importir yang mengimpor Limbah Non B3
tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Import limbah B3 ataupun pengimporan besi skrap yang mengandung
limbah B3 dinyatakan dilarang atau tidak boleh dilakukan, jika tetap
dilakukan mempunyai konsekuensi sebagai bentuk pelanggaran hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d UUPPLH, dan terhadap
pelaku dapat dikenakan Pasal 106 UUPPLH.
Ketentuan Pasal 106 UU PPLH, berbunyi: Setiap orang yang memasukkan
limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipinana dengan
penjara paling singkat 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun dan
denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,– dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,–
Memperhatikan ketentuan UUPPLH, tidak ada toleransi terhadap import
limbah B3, termasuk import besi skrap yang mengandung limbah B3. Besi
skrap yang mengandung limbah B3 pada dasarnya juga merupakan limbah B3.
Jika besi skrap yang diimpor mengandung limbah B3, maka import besi
skrap tersebut tidak dapat dilakukan, dan jika impor tersebut tetap juga
dilakukan, maka import tersebut merupakan perbuatan yang di larang dan
melanggar ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf d jo Pasal 106 UUPPLH.
Selanjutnya, jika besi skrap yang diimpor tidak mengandung limbah B3
atau sebagai Limbah Non B3, dapat dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang mengatur tentang impor limbah non
B3 yang harus dipatuhi diantaranya Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor
Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non
Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), Setiap importasi Limbah Non B3
oleh IP Limbah Non B3 wajib dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis
di negara muat sebelum dikapalkan. Pelaksanaan verifikasi atau
penelusuran teknis dilakukan oleh Surveyor yang telah memenuhi
persyaratan teknis, dan ditetapkan oleh Menteri.
Surveyor yang telah memenuhi persyaratan teknis yaitu surveyor yang
a. memiliki Surat Izin Usaha Jasa Survey (SIUJS); b. berpengalaman
sebagai surveyor minimal 5 (lima) tahun; c. memiliki cabang atau
perwakilan dan/atau afiliasi di luar negeri dan memiliki jaringan sistem
informasi untuk mendukung efektifitas pelayanan verifikasi; dan d.
mempunyai rekam-jejak (track records) di bidang pengelolaan kegiatan
verifikasi impor.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non
Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), Menteri Perdagangan berkoordinasi
dengan Menteri teknis terkait untuk membentuk Satuan Tugas penanganan
permasalahan importasi Limbah Non B3. Direktur Jenderal Perdagangan Luar
Negeri Departemen Perdagangan dapat membentuk Tim Pengawasan dalam
rangka evaluasi dan monitoring pelaksanaan importasi Limbah Non B3 oleh
IP Limbah Non B3.
Mengimpor besi skrap yang mengandung limbah B3 dikategorikan sebagai
perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan Pasal 69 ayat (1) huruf d
jo Pasal 106 UU No. 32/2009. Dalam hal adanya impurities (pengotor) yang
terbawa oleh limbah Non B3 dalam melaksanakan impor yang mengandung
Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam PP No. 18 tahun 1999 dan PP 85
tahun 1999, berarti limbah tersebut termasuk ke dalam limbah B3, karena
sudah masuk ke dalam limbah B3, limbah tersebut tidak dapat ditolerir
masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika impurities (pengotor) tersebut termasuk dalam daftar limbah B3,
maka ketentuannya yaitu PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 85 Tahun 1999.
Ketentuan yang lebih rendah tidak dapat menyampingkan ketentuan yang
lebih tinggi, hal ini sesuai dengan asas Lex superior derogat legi
inperiori (kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan
perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah
yang harus didahulukan).
IV. Importir Limbah Non B3, namun dalam kenyataannya limbah yang di
impor tersebut mengandung B3, maka Importir tersebut pada dasarnya telah
mengimpor Limbah B3, dan terhadap Importir Produsen Limbah Non B3 (IP
Limbah Non B3) wajib mengirim kembali limbah tersebut ke negara asal
paling lambat 90 hari sejak kedatangan barang berdasarkan dokumen
kepabeanan yang berlaku. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka
importir dikenakan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat
(1) jo Pasal 106 UUPPLH.
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 18 Tahun 1999
TENTANG
PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan;
b. bahwa dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya
pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah
yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat
membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia;
c. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGELOLAAN
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. �� Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;
2. �� Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah
sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya
dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan
dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk
hidup lain;
3. �� Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup
reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan, dan penimbunan limbah B3;
4. �� Reduksi limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk
mengurangi jumlah dan mengurangi sifat bahaya dan racun limbah B3,
sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan;
5. �� Penghasil limbah B3 adalah orang yang usaha dan/atau kegiatannya menghasilkan limbah B3;
6. �� Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pengumpulan dengan tujuan untuk mengumpulkan limbah B3 sebelum dikirim
ke tempat pengolahan dan/atau pemanfaatan dan/atau penimbunan limbah B3;
7. �� Pengangkut limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3;
8. �� Pemanfaat limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3;
9. �� Pengolah limbah B3 adalah badan usaha yang mengoperasikan sarana pengolahan limbah B3;
10. Penimbun limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan limbah B3;
11. Pengawas adalah pejabat yang bertugas di instansi yang bertanggung jawab melaksanakan pengawasan pengelolaan limbah B3;
12. Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan
oleh penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah
dan/atau penimbun limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara;
13. Pengumpulan limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari
penghasil limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum
diserahkan kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah
B3;
14. Pengangkutan limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3
dari penghasil dan/atau dari pengumpul dan/atau dari pemanfaat dan/atau
dari pengolah ke pengumpul dan/atau ke pemanfaat dan/atau ke pengolah
dan/atau ke penimbun limbah B3;
15. Pemanfaatan limbah B3 adalah suatu kegiatan perolehan kembali
(recovery) dan/atau penggunaan kembali (reuse) dan/atau daur ulang
(recycle) yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk
yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan dan kesehatan
manusia;
16. Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah karakeristik
dan komposisi limbah B3 untuk menghilangkan dan/atau mengurangi sifat
bahaya dan/atau sifat racun;
17. Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3
pada suatu fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan hidup;
18. Orang adalah orang perorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
19. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
20. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2
Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah
tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali.
Pasal 3
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan
limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara
langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih
dahulu.
Pasal 4
Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 dilarang
melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan
bahaya limbah B3.
Pasal 5
Pengelolaan limbah radio aktif dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab atas pengelolaan radio aktif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
IDENTIFIKASI LIMBAH B3
Pasal 6
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan karakteristiknya.
Pasal 7
(1) Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi :
a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
b. Limbah B3 dari sumber spesifik;
c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
(2) Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan D223 dapat
dinyatakan limbah B3 setelah dilakukan uji Toxicity Characteristic
Leaching Procedure (TCLP) dan/atau uji karakteristik.
(3) Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) seperti tercantum dalam lampiran I Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 8
(1) � Limbah yang tidak termasuk dalam daftar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) diidentifikasi sebagai limbah B3 apabila setelah
melalui pengujian memiliki salah satu atau lebih karakteristik sebagai
berikut :
a. mudah meledak;
b. mudah terbakar;
c. bersifat reaktif;
d. beracun;
e. menyebabkan infeksi; dan
f. bersifat korosif.
(2) Limbah yang temasuk limbah B3 adalah limbah lain yang apabila
diuji dengan metode toksikologi memiliki LD50 di bawah nilai ambang
batas yang telah ditetapkan.
BAB III
PELAKU PENGELOLAAN
Bagian Pertama
Penghasil
Pasal 9
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3
wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun
limbah B3.
(2) Apabila kegiatan reduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih
menghasilkan limbah B3, dan limbah B3 tersebut masih dapat
dimanfaatkan, penghasil dapat memanfaatkannya sendiri atau menyerahkan
pemanfaatannya kepada pemanfaat limbah B3.
(3) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengolah limbah B3
yang dihasilkannya sesuai dengan teknologi yang ada dan jika tidak
mampu diolah di dalam negeri dapat diekspor ke negara lain yang memiliki
teknologi pengolahan limbah B3.
(4) Pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan sendiri oleh penghasil limbah B3 atau
penghasil limbah B3 dapat menyerahkan pengolahan dan/atau penimbunan
limbah B3 yang dihasilkannya itu kepada pengolah dan/atau penimbun
limbah B3.
(5) Penyerahan limbah B3 kepada pemanfaat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak mengurangi tanggung jawab
penghasil limbah B3 untuk mengolah limbah B3 yang dihasilkannya.
(6) Ketentuan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan
rumah tangga dan kegiatan skala kecil ditetapkan kemudian oleh instansi
yang bertanggung jawab.
Pasal 10
(1) Penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang
dihasilkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sebelum
menyerahkannya kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau
penimbun limbah B3.
(2) Bila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 (lima puluh)
kilogram per hari, penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang
dihasilkannya lebih dari 90 (sembilan puluh) hari sebelum diserahkan
kepada pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3, dengan
persetujuan instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 11
(1) Penghasil limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan tentang :
a. �� jenis, karakteristik, jumlah dan waktu dihasilkannya limbah B3;
b. �� jenis, karakteristik, jumlah dan waktu penyerahan limbah B3;
c. �� nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada
pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3.
(2) � Penghasil limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada
instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi yang
terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk :
a. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dihasilkan;
b. sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.
Bagian Kedua
Pengumpul
Pasal 12
Pengumpul limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3.
Pasal 13
(1) Pengumpul limbah B3 wajib membuat catatan tentang :
a. �� jenis, karakteristik, jumlah limbah B3 dan waktu diterimanya limbah B3 dari penghasil limbah B3;
b. �� jenis, karakteristik, jumlah, dan waktu penyerahan limbah B3
kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3;
c. �� nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
(2) Pengumpul limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada
instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi yang
terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk;
a. �� inventarisasi jumlah limbah B3 yang dikumpulkan;
b. �� sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.
Pasal 14
(1) Pengumpul limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dikumpulkannya
paling lama 90 (sembilan puluh) hari sebelum diserahkan kepada
pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
(2) Pengumpul limbah B3, bertanggung jawab terhadap limbah B3 yang dikumpulkan.
Bagian Ketiga
Pengangkut
Pasal 15
(1) Pengangkut limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3.
(2) Pengangkutan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil limbah B3 untuk limbah yang dihasilkannya sendiri.
(3) Apabila penghasil limbah B3 bertindak sebagai pengangkut
limbah B3, maka wajib memenuhi ketentuan yang berlaku bagi pengangkut
limbah B3.
Pasal 16
(1) Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut limbah B3 wajib disertai dokumen limbah B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dokumen limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang
bertanggung jawab.
Pasal 17
Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3 dan dokumen limbah
B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada pengumpul
dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3 yang
ditunjuk oleh penghasil limbah B3.
Bagian Keempat
Pemanfaat
Pasal 18
Pemanfaat limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3.
Pasal 19
(1) Pemanfaat limbah yang menghasilkan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai penghasil limbah B3.
(2) Pemanfaat limbah B3 yang dalam kegiatannya melakukan pengumpulan
limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai pengumpul limbah B3.
(3) Pemanfaat limbah B3 yang melakukan pengangkutan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai pengangkut limbah B3.
Pasal 20
Pemanfaat limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 sebelum dimanfaatkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
Pasal 21
Pemanfaat limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai :
a. �� sumber limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. �� jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang dikumpulkan;
c. �� jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan dan produk yang dihasilkan;
d. �� nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3 dari penghasil dan/atau pengumpul limbah B3.
Pasal 22
(1) � Pemanfaat limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 21 sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada
instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi yang
terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
(2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk :
a. �� inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. �� sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.
Bagian Kelima
Pengolah
Pasal 23
(1) Pengolah limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan pengolahan limbah B3.
(2) Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang akan diolah paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
(3) Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
Pasal 24
(1) Pengolah limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai :
a. sumber limbahB3 yang diolah;
b. jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang diolah;
c. nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3.
(2) � Pengolah limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada
instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi terkait
dan Bupati/Wali kotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk :
a. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.
Bagian Keenam
Penimbun
Pasal 25
(1) Penimbun limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan limbah B3.
(2) Penimbunan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil untuk menimbun limbah B3 sisa dari usaha dan/atau kegiatannya sendiri.
Pasal 26
(1) Penimbun limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai:
a. sumber limbah B3 yang ditimbun;
b. jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang ditimbun;
c. nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3.
(2) � Penimbun limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada
instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi terkait
dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk :
a. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.
BAB IV
KEGIATAN PENGELOLAAN
Bagian Pertama
Reduksi Limbah B3
Pasal 27
(1) Reduksi limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya menyempurnakan
penyimpanan bahan baku dalam kegiatan proses (house keeping), substitusi
bahan, modifikasi proses, serta upaya reduksi limbah B3 lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai reduksi limbah B3 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung
jawab.
Bagian Kedua
Pengemasan
Pasal 28
(1) Setiap kemasan limbah B3 wajib diberi simbol dan label yang menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai simbol dan label limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala instansi yang
bertanggung jawab.
Bagian Ketiga
Penyimpanan
Pasal 29
(1) Penyimpanan limbah B3 dilakukan ditempat penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan.
(2) Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi syarat :
a. lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana
dan di luar kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang;
b. rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya pengendalian pencemaran lingkungan .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyimpanan limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala instansi yang
bertanggung jawab.
Bagian Keempat
Pengumpulan
Pasal 30
(1) Kegiatan pengumpulan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. �� memperhatikan karakteristik limbah B3;
b. �� mempunyai laboratorium yang dapat mendeteksi karakteristik limbah B3 kecuali untuk toksikologi;
c. �� memiliki perlengkapan untuk penanggulangan terjadinya kecelakaan;
d. �� memiliki konstruksi bangunan kedap air dan bahan bangunan disesuaikan dengan karakteristik limbah B3;
e. mempunyai lokasi pengumpulan yang bebas banjir.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kelima
Pengangkutan
Pasal 31
Penyerahan limbah B3 oleh penghasil dan/atau pengumpul dan/atau
pemanfaat dan/atau pengolah kepada pengangkut wajib disertai dokumen
limbah B3
Pasal 32
Pengangkutan limbah B3 dilakukan dengan alat angkut khusus yang
memenuhi persyaratan dengan tata cara pengangkutan yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Pemanfaatan
Pasal 33
(1) Pemanfaatan limbah B3 meliputi perolehan kembali (recovery), penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan limbah B3 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung
jawab.
Bagian Ketujuh
Pengolahan
Pasal 34
(1) � Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal,
stabilisasi dan solidifikasi, secara fisika, kimia, biologi dan/atau
cara lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi.
(2) ������ Pemilihan lokasi untuk pengolahan limbah B3 harus memenuhi ketentuan :
a. �� bebas dari banjir, tidak rawan bencana dan bukan kawasan lindung;
b. �� merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri berdasarkan rencana tata ruang.
(3) Pengolahan limbah B3 dengan cara stabilisasi dan solidifikasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. �� melakukan analisis dengan prosedur ekstraksi untuk menentukan
mobilitas senyawa organik dan anorganik (Toxicity Characteristic
Leaching Procedure);
b. �� melakukan penimbunan hasil pengolahan stabilisasi dan solidifikasi dengan ketentuan penimbunan limbah B3 (landfill).
(4) Pengolahan limbah B3 secara fisika dan/atau kimia yang menghasilkan:
a.��� limbah cair, maka limbah cair tersebut wajib memenuhi baku mutu limbah cair;
b. �� limbah padat, maka limbah padat tersebut wajib memenuhi ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.
(5) Pengolahan limbah B3 degan cara thermal dengan meoperasikan insinerator wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. �� mempunyai insinerator dengan spesifikasi sesuai dengan karakteristik dan jumlah limbah B3 yang diolah;
b. �� mempunyai insinerator yang dapat memenuhi efisiensi pembakaran
minimal 99,99 % dan efisiensi penghancuran dan penghilangan sebagai
berikut :
1) �� efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Principle Organic Hazard Constituent (POHCs) 99,99%;
2) �� efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Biphenyl (PCBs) 99,9999 %;
3) �� efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenzofurans 99,9999 %;
4) �� efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenso-P-dioxins 99,9999 %.
c. �� memenuhi standar emisi udara;
d. �� residu dari kegiatan pembakaran berupa abu dan cairan wajib
dikelola dengan mengikuti ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pengolahan
limbah B3 ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 35
Penghentian kegiatan pengolahan limbah B3 oleh pengolah wajib
mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala instansi yang bertanggung
jawab.
Bagian Kedelapan
Penimbunan
Pasal 36
Lokasi penimbunan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. �� bebas dari banjir;
b. �� permeabilitas tanah maksimum 10 pangkat negatif 7 centimeter per detik;
c. �� merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai lokasi penimbunan limbah B3 berdasarkan rencana tata ruang;
d. �� merupakan daerah yang secara geologis dinyatakan aman, stabil tidak rawan bencana dan di luar kawasan lindung;
e. �� tidak merupakan daerah resapan air tanah, khususnya yang digunakan untuk air minum.
Pasal 37
(1) Penimbunan limbah B3 wajib menggunakan sistem pelapis yang
dilengkapi dengan saluran untuk pengaturan aliran air permukaan,�
pengumpulan air lindi dan pengolahannya, sumur pantau dan lapisan
penutup akhir yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenani tata cara dan persyaratan
penimbunan limbah B3 ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung
jawab.
Pasal 38
Penghentian kegiatan penimbunan limbah B3 oleh penimbun wajib
mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala instansi yang bertanggung
jawab.
Pasal 39
(1) Terhadap lokasi penimbunan limbah B3 yang telah dihentikan kegiatannya wajib memenuhi hal-hal sebagai berikut :
a. �� menutup bagian paling atas tempat penimbunan dengan tanah setebal minimum 0,60 meter;
b. �� melakukan pemagaran dan memberi tanda tempat penimbunan limbah B3;
c. �� melakukan pemantauan kualitas air tanah dan menanggulangi
dampak negatif yang mungkin timbul akibat keluarnya limbah B3 ke
lingkungan, selama minimum 30 tahun terhitung sejak ditutupnya seluruh
fasilitas penimbunan limbah B3;
d. �� peruntukan lokasi penimbun yang telah dihentikan kegiatannya tidak dapat dijadikan pemukiman atau fasilitas umum lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala istansi yang bertanggung
jawab.
BAB V
TATA LAKSANA
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 40
(1) Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan :
a. �� penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau
penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi
yang bertanggung jawab.
b. �� Pengangkut limbah B3 wajib memeliki izin penggangkutan dari
menteri perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari kepala instansi
yang bertanggung jawab.
c. �� pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki
izin pemanfaatan dari intansi yang berwenang merberikan izin pemanfaatan
setalah mendapat rekomendasi dari kepala intansi yang bertanggung
jawab.
(2) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung
jawab, dan ayat (1) huruf b dan huraf c di tetapkan oleh kepala intansi
yang berwenang memberikan izin. .
(3) � Kegiatan pengolahan limbah B3 yang terintegrasi dengan kegiatan
pokok wajib memperoleh izin operasi alat pengolahan limbah B3 yang
dikeluarkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
(4) � Persyaratan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. �� memiliki akte pendirian sebagai badan usaha yang, telah disyahkan oleh instansi yang berwenang;
b. �� nama dan alamat badan usaha yang memohon izin;
c. �� kegiatan yang dilakukan;
d. �� lokasi tempat kegiatan;
e. �� nama dan alamat penanggung jawab kegiatan;
f. ��� bahan baku dan proses kegiatan yang digunakan;
g. �� spesifikasi alat pengelolaan limbah;
h. �� jumlah dan karakteristik limbah B3 yang disimpan, dikumpulkan, dimanfaatkan, diangkut, diolah atau ditimbun;
i. ���� tata letak saluran limbah, pengolahan limbah, dan tempat
penampungan sementara limbah B3 sebelum diolah dan tempat penimbunan
setelah iolah;
j. ���� alat pencegah pencemaran untuk limbah cair, emisi, dan pengolahan limbah B3.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin sebagai
di maksud pada ayat [3] dan tata cara permohonan rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b dan huruf c ditetapkan oleh
kepala intansi yang bertanggung jawab.
Pasal 41
(1) Keputusan mengenai izin dan rekomendasi pengolaan limbah B3 yang
diberikan oleh kepala intansi yang bertanggung jawab sebagaimana di
maksud dalam pasal 40 wajib di umumkan kepasa masyarakat..
(2) Tata cara pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan ketetapan kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 42
(1) Izin lokasi pengolahan dan penimbunan limbah B3 diberikan oleh
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sesuai rencana tata ruang
setelah mendapat rekomendasi dari kepala instansi yang bertanggung
jawab.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
hasil penelitian tentang dampak lingkungan dan kelayakan teknis lokasi
sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 36.
Pasal 43
(1) � Untuk kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau
penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis
mengenai dampak lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang belaku.
(2) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan
bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (4) kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian
analisis mengenai dampak lingkungan hidup diberikan oleh kepala stansi
yang bertanggung jawab.
Pasal 44
(1) � Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 45 [empat puluh lima]. hari kerja terhitung sejak di
terimanya..
(2) Syarat dan kewajiban dalam analisis mengenai dampak lingkungan
hidup yang telah disetujui merupakan bagian yang akan menjadi bahan
pertimbangan dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (1).
Pasal 45
(1) Kegiatan baru yang menghasilkan limbah B3 yang melakukan
pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 yang lokasinya sama dengan kegiatan
utamanya, maka analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan
pengolahan limbah B3 dibuat secara terintegrasi dengan analisis
mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan utamanya.
(2) Apabila pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil dan
pemanfaat limbah B3 di lokasi kegiatan utamanya, maka hanya rencana
pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup
yang telah disetujui yang diajukan kepada instansi yang bertanggung
jawab bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40.
(3) Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya
rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup yang telah disetujui.
(4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
Pasal 46
(1) Apabila penghasil dan/atau pemanfaat limbah B3 bertindak sebagai
pengolah limbah B3 dan lokasi pengolahannya berbeda dengan lokasi
kegiatan utamanya, maka terhadap kegiatan pengolahan limbah B3 tersebut
berlaku ketentuan mengenai pengolahan limbah B3 dalam Peraturan
Pemerintah ini.
(2) Untuk kegiatan pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utamanya
wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sedangkan
untuk kegiatan yang terintegrasi dengan kegiatan utamanya wajib membuat
rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup.
(3) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan kepada
instansi yang bertanggung jawab dan persetujuan atas dokumen tersebut
diberikan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana
yang telah disetujui wajib dicantumkan dalam izin� sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 47
(1) Pengawasan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh Menteri dan pelaksanaanya diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemantauan
terhadap penaatan persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif
oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah, dan penimbun
limbah B3.
(3) Pelaksanaan pengawasan pengelolaan limbah B3 di daerah dilakukan
menurut tata laksana yang ditetapkan oleh kepala instansi yang
bertanggung jawab.
(4) Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat pada tingkat
nasional dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab dan pada
tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Pasal 48
(1) Pengawas dalam melaksanakan pengawasan pengelolaan limbah B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dilengkapi tanda pengenal
dan surat tugas yang dikeluarkan oleh Kepala instansi yang bertanggung
jawab.
(2) Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. memasuki areal lokasi penghasil, pemanfaatan, pengumpulan, pengolahan dan penimbun limbah B3;
b. mengambil contoh limbah B3 untuk diperiksa di laboratorium;
c. meminta keterangan yang berhubungan dengan pelaksanaan pengelolaan limbah B3;
d. melakukan pemotretan sebagai kelengkapan laporan pengawasan.
Pasal 49
Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun
limbah B3 wajib membantu petugas pengawas dalam melakukan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2).
Pasal 50
Apabila dalam pelaksanaan pengawasan ditemukan indikasi adanya tindak
pidana lingkungan hidup maka pengawas selaku penyidik pegawai negeri
sipil lingkungan hidup dapat melakukan penyidikan.
Pasal 51
(1) Instansi yang bertanggung jawab menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan limbah B3 secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam
satu tahun kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri.
(2) � Menteri mengevaluasi laporan tersebut guna menyusun kebijakan pengelolaan limbah B3.
Pasal 52
(1) Untuk menjaga kesehatan pekerja dan pengawas yang bekerja di
bidang pengelolaan limbah B3 dilakukan uji kesehatan secara berkala.
(2) Uji kesehatan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
pengelolaan limbah B3
(3) � Uji kesehatan bagi pengawas pengelolaan limbah B3 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh instansi yang bertanggung
jawab di bidang kesehatan tenaga kerja.
Bagian Ketiga
Perpindahan Lintas Batas
Pasal 53
(1) Setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3.
(2) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara
Indonesia dengan tujuan transit, wajib memiliki persetujuan tertulis
terlebih dahulu dari kepala intansi yang bertanggung jawab..
(3) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara
Republik Indonesia wajib diberitahukan terlebih dahulu secara tertulis
kepada kepala instansi yang bertanggung jawab.
(4) Pengiriman limbah B3 ke luar negeri dapat dilakukan setelah
mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan kepala
instansi yang bertanggung jawab.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan
oleh Menteri yang ditugasi dalam bidang perdagangan setelah mendapat
pertimbangan dari kepala instansi yang bertanggung jawab..
Bagian Keempat
Informasi dan Pelaporan
Pasal 54
(1) Setiap orang berhak atas informasi mengenai pengelolaan limbah B3.
(2) Instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada setiap orang secara terbuka.
Pasal 55
(1) Setiap orang berhak melaporkan adanya potensi maupun keadaan
telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
disebabkan oleh limbah B3.
(2) � Pelaporan tentang adanya peristiwa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup disampaikan secara lisan atau tertulis kepada
instansi yang bertanggungjawab atau aparat pemerintah terdekat. .
(3) � Aparat pemerintah yang menerima pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat [2] wajib meneruskan laporan tersebut kepada instansi yang
bertanggung jawab selambat-lambatnya 3[tiga] hari kerja setelah
diterimanya pelaporan..
Pasal 56
(1) � Instansi yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 wajib segera menindaklanjuti laporan masyarakat.
(2) � Proses tindak lanjut maupun hasil laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada pelapor dan/atau masyarakat
yang berkepentingan
Pasal 57
Tata cara dan mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 diatur lebih lanjut oleh Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Penanggulangan dan Pemulihan
Pasal 58
(1) Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan
penimbun limbah B3 bertanggung jawab atas penanggulangan kecelakaan dan
pencemaran lingkungan hidup akibat lepas atau tumpahnya limbah B3 yang
menjadi tanggung jawabnya.
(2) Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah, dan penimbun limbah B3 wajib memiliki sistem tanggap darurat.
(3) Penanggung jawab pengelolaan limbah B3 wajib memberikan informasi
tentang sistem tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada masyarakat.
(4) Penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau
pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun limbah B3 wajib segera
melaporkan tumpahnya bahan berbahaya dan beracun [B3] dan limbah B3 ke
lingkungan kepada instansi yang bertanggung jawab limbah B3 ke
lingkungan kepada instansi yang bertanggung jawab dan/atau Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I dan/atau bupati/walikotamadya kepala daerah
tingkat .II
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kecelakaan dan
pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala
instansi yang bertanggung jawab..
Bagian Keenam
Pengawasan Penanggulangan Kecelakaan
Pasal 59
(1) Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan di daerah
dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II untuk skala yang bisa
ditanggulangi oleh kegiatan penghasil dan/atau pengumpul dan/atau
pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun.
(2) Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan untuk skala yang
tidak dapat ditanggulangi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II, maka
Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II secara
bersama-sama melakukan pengawasan.
(3) Pelaksanaan penanggulangan kecelakaan pada penghasil dan/atau
pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat
dan/atau penimbun yang dampaknya sangat besar sehingga mencakup dua
wilayah daerah tingkat II pengawasannya dilakukan secara bersama-sama
oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I.
(4) Pelaksanaan penanggulangan kecelakaan pada penghasil dan/atau
pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat
dan/atau penimbun yang dampaknya sangat besar sehingga Pemerintah Daerah
Tingkat II tidak bisa mengawasi pengawasannya dilakukan oleh instansi
yang bertanggung jawab bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Tingkat II
dan Pemerintah Daerah Tingkat I.
Pasal 60
(1) � Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan
penimbun limbah B3 wajib segera menanggulangi pencemaran atau kerusakan
lingkungan akibat kegiatannya.
(2) � Apabila penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah
dan penimbun limbah B3 tidak melakukan penanggulangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), atau tidak dapat menanggulangi sebagaimana
mestinya, maka instansi yang bertanggung jawab dapat melakukan
penanggulangan dengan biaya yang dibebankan kepada penghasil, dan/atau
pemanfaat, dan/atau pengumpul, dan/atau pengangkut, dan/atau pengolah,
dan/atau penimbun limbah B3 yang bersangkutan melalui Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I.
Bagian keenam
Pembiayaan
Pasal 61
(1) Segala biaya untuk memperoleh izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 dibebankan kepada pemohon izin.
(2) � Beban biaya permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi biaya studi kelayakan teknis untuk proses perizinan.
(3) � Untuk pemantauan dan/atau pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh :
a. instansi yang bertanggung jawab dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN);
b. instansi yang bertanggung jawab daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI
SANKSI
Pasal 62
(1) Instansi yang bertanggung jawab memberikan peringatan tertulis
kepada penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah atau
penimbun yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 26, Pasal 28, Pasal 29 Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39,
Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 52 ayat (2), Pasal 58, dan
Pasal 60.
(2) Apabila dalam jangka waktu 15 [lima belas]. hari sejak
dikeluarkannya peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pihak yang diberi peringatan tidak mengindahkan peringatan atau tetap
tidak mematuhi ketentuan pasal yang dilanggarnya, maka kepala instansi
yang bertanggung jawab dapat menghentikan sementara atau mencabut
sementara izin penyimpanan, pengumpulan, pengolahan termasuk penimbunan
limbah B3 sampai pihak yang
diberi peringatan mematuhi ketentuan yang dilanggarnya, dan bilamana
dalam batas waktu yang ditetapkan tidak diindahkan maka izin operasi
dicabut.
(3) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menghentikan
sementara kegiatan operasi atas nama instansi yang berwenang dan/atau
instansi yang bertanggung jawab apabila pelanggaran tersebut dapat
membahayakan lingkungan hidup.
(4) kepala instansi yang bertanggung jawab wajib dengan segera
mencabut keputusan penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) apabila pihak yang dihentikan sementara kegiatan
operasinya telah mematuhi ketentuan yang dilanggarnya.
Pasal 63
Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 29, Pasal 30, Pasal
32, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, pasal 39dan Pasal 60 yang
mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup diancam dengan pidana sebagaimana diatur pada Pasal 41,
Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.