Minggu, 23 November 2014

KLASIFIKASI TEMPAT PENIMBUNAN LIMBAH PADAT



            Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Di mana masyarakat bermukim, di sanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water).

            Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah.

            Pembuatan penimbunan limbah padat sangat penting terutama untuk kehidupan kita, kesehatan dan lingkungan. Hal ini ditujukan untuk menstabilkan limbah padat dan membuatnya menjadi bersih melalui penyimpanan limbah secara benar dan penggunaan fungsi metabolis alami yang benar.

            Lokasi penimbunan limbah digolongkan ke dalam 5 jenis menurut struktur sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Dari segi mutu lindi dan gas yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan limbah, baik metode penimbunan limbah semi-aerobik maupun aerobik yang dikehendaki.
Tabel 1. Klasifikasi Struktur Penimbunan limbah
  

                                                  Klasifikasi Struktur Penimbunan limbah

          Meskipun ini limbah padat tetap saja jika tidak diolah dan tidak ditempatkan dengan benar maka akan menjadi limbah cair,dan gas atau sebagai nya karena dampaknya yang saling berhubungan , diantara lain contoh nya adalah :

(a) Pencemaran air
Lindi atau cairan yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan limbah, jika tidak diolah akan, mencemarkan sungai, laut dan air tanah.
(b) Pembentukan gas
Gas utama yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan limbah adalah metan, amonium, hidrogen sulfida, dan karbon dioksida.
(c) Bau tak sedap
Ada dua jenis bau tak enak yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan limbah. Pertama adalah bau yang ditimbulkan dari limbahnya sendiri, yang lainnya adalah gas yang ditimbulkan melalui dekomposisi limbah.
(d) Hama dan vektor
Limbah dapur cenderung menjadi sarang lalat, dan menarik tikus dan burung gagak.




Minggu, 16 November 2014

Syarat Pembuatan Tempat Sampah yang Baik dan Benar - Pembuangan Limbah Rumah Tangga Manusia

     Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Di mana masyarakat bermukim, di sanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah, ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water).

   Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. 

   Sampah merupakan sisa hasil kegiatan manusia, yang keberadaannya banyak menimbulkan masalah apabila tidak dikelola dengan baik. Apabila dibuang dengan cara ditumpuk saja maka akan menimbulkan bau dan gas yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Apabila dibakar akan menimbulkan pengotoran udara. Kebiasaan membuang sampah disungai dapat mengakibatkan pendangkalan sehingga menimbulkan banjir. Dengan demikian sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi sumber pencemar pada tanah, badan air dan udara.

    Pengertian lain menyebutkan, sampah adalah semua benda atau produk sisa dalam bentuk padat sebagai akibat aktivitas manusia, yang dianggap tidak bermanfaat dan tidak dikehendaki oleh pemiliknya dan dibuang sebagai barang yang tidak berguna. Sampah yang dihasilkan dari jasa boga pada umumnya berupa sampah organik yang sangat baik untuk makanan maupun tempat berkembang biaknya serangga terutama lalat dan tikus. Oleh karena itu sampah yang dihasilkan hendaknya langsung dimasukkan ke dalam tempat yang mudah ditutup sehingga tidak sempat menjadi makanan lalat dan tikus.

    Setiap hari manusia menghasilkan sampah baik yang merupakan sampah rumah tangga maupun sampah industri yang bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Sampah jika tidak diurus dan dikelola dengan baik dapat menyebabkan masalah lingkungan yang sangat merugikan. Sampah yang menumpuk dan membusuk dapat menjadi sarang kuman dan binatang yang dapat mengganggu kesehatan manusia baik badan maupun jiwa, serta mengganggu estetika lingkungan karena terkontaminasi pemandangan tumpukan sampah dan bau busuk yang menyengat hidung.

     Berikut ini adalah hal-hal yang wajib diperhatikan dalam mengelola tempat sampah rumah tangga / tempat pembuangan sampah pribadi di rumah-rumah :

1. Pisahkan sampah kering / non organik dengan sampah basah / organik dalam wadah plastik.
2. Tempat sampah harus terlindung dari sinar matahari langsung, hujan, angin, dan lain sebagainya.
3. Hindari tempat sampah menjadi sarang binatang seperti kecoa, lalat, belatung, tikus, kucing, semut, dan lain-lain
4. Buang sampah dalam kemasan plastik yang tertutup rapat agar tidak mudah berserakan dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Selain itu juga memudahkan tukang sampah dalam mengambil sampah. Jangan biarkan pemulung mengobrak-abrik sampah yang sudah dibungkus rapi.
5. Tempat sampah harus tertutup aman dari segala gangguan namun mudah dijangkau petugas kebersihan.
6. Jangan membakar sampah di lingkungan padat penduduk karena dapat mengganggu kenyamanan dan kesehatan orang lain.


Jumat, 14 November 2014

PENANGANAN LIMBAH PLASTIK



Sampah plastik adalah bahan buangan yang terbuat dari plastik yang sudah tidak terpakai dan tidak bermanfaat lagi bagi kehidupan manusia. Sampah plastik dapat menjadi berguna kembali setelah sampah plastik tersebut didaur ulang.

Daur ulang plastik adalah melakukan proses dasar daur ulang untuk mengolah sampah plastik menjadi pellet atau bijih plastik yang merupakan bahan dasar pembentuk plastik menurut produk yang diinginkan. Dalam proses ini, jenis bahan baku yang digunakan menentukan jenis bijih plastik yang dihasilkan.
Bahan baku daur ulang dengan kualitas satu merupakan plastik yang belum pernah didaur ulang sebelumnya atau hanya pernah sekali saja didaur ulang.
Berdasarkan warna dan struktur kimia plastik:
1.      LPDE neutral (kantong dan lembaran plastik berwarna putih maupun transparan).
2.      LPDE black (kantong dan lembaran plastik berwarna hitam maupun sedikit campuran warna yang lain)
3.      LLDPE
4.      Produk yang dihasilkan melalui proses daur ulang berupa pellet atau bijih plastik dengan ukuran 4-6 mm.

Tahapan proses daur ulang digolongkan menjadi 2 bagian besar, yaitu:
·         Bagian proses sortir bahan baku yang  menggunakan tenaga manusia.
·         Bagian proses yang menggunakan mesin.
·         Sortir
merupakan proses pemisahan yang pertama kali dilakukan. Pada proses ini dilakukan  pekerjaan untuk memisahkan bahan baku yang datang dan membuang material/ benda asing yang tidak diharapakan masuk ke dalam proses.

PEMOTONGAN
Proses ini dilakukan untuk mengurangi ukuran material dan mempermudah  proses selanjutnya, dengan cara memotong atau merajang plastik dalam bentuk asalnya (kantong atau lembaran plastik).

PENCUCIAN
Tujuan : agar tidak menggangu proses penggilingan.
Terdiri dari 2 tahap, yaitu:
1.      Prewashing
Untuk memisahkan material-material asing terutama agar tidak ikut dalam proses selanjutnya Menggunakan media cair sebagai sarana untuk  mencuci material dan membawa     material asing keluar dari proses.
2.   Pencucian Tahap 2:
Menggunakan mesin friction water.Materi dicuci kembali oleh ulir menanjak yang berputar pada putaran tinggi sehinggga hasil dari friksi dapat melepaskan material asing yang masih terdapat pada bahan.Masih menggunakan media air untuk membawa material asing keluar dari proses.

PENGERINGAN
·         Secara mekanik yaitu dengan memeras material dengan gerakan memutar sehingga air dapat keluar
·         Dengan menguapkan air pada suhu tertentu agar bahan benar-benar terbebas dari suhu yang melekat

PEMANASAN
·         Material yang telah bersih dari pengotor dilelehkan dengan proses pemanasan material pada suhu 2000
·         Suhu panas dihasilkan oleh heater.
·         Selanjutnya lelehan dialirka untuk menuju proses penyaringan

PENYARINGAN
·         Dilakukan dengan lembaran besi yang dilobangi sebesar kira-kira 4mm di seluruh permukaannya.
·         Diharapkan lelehan plastik akan melewati saringan ini untuk menghasilkan lelehan plastik berbentuk silinder panjang yang nantinya akn dipotong-potong.

PENDINGINAN
Setelan berbentuk silinder, material dilewatkan pada air dingin sebagai media pendingin.

PENCETAKAN/ PENGGILINGAN
·         Pencetakan bijih plastik dilakukan dengan membentuk lelehan plastik menjadi berbentuk mie dengan diameter 4 mm.

PEMBUNGKUSAN
·         Dilakukan pembungkusan terhadap material kering dalam karung plastik
·         Pemeriksaan untuk mengetahui apakah proses produksi berjalan baik.

Jadi semua proses ini dilakukan untuk meminimalisir menumpuknya sampah plastic yang ada di dunia ini,karna sudah dapat diketahui bahwa sampah atau limbah plastic ini adalah limbah yang sulit untuk di hancurkan dan membutuhkan waktu yang lama, maka sebab itu langkah proses ini sangat membantu dalam mengurangi limbah plastic.

Setelah dilakukannya proses tersebut,maka bias kita simpulkan dan dapat kita lihat bahwa bahan platik ini bias berguna dan dapat di daur ulang lagi untuk menghasilkan ekonomi dan kehidupan baik di dunia, semua proses yang dilakukan sangatlah penting dan menguntungkan bagi semuanya, karna dari hasil proses tersebut bias diolah lagi dan dapat di manfaatkan lagi,dan kita bias mengurangi pencemaran dari limbah plastic ini dan mengurangi keindahan bumi ini yang banyak dengan sekali limbah platik yang dibiarkan saja dan tidak diproses.

Sumber : http://www.slideshare.net/naviaekas/pengolahan-limbah-plastik


Kamis, 13 November 2014

LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (LIMBAH B3)


LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

I.   Limbah berdasarkan Pasal 1 angka (20) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Selanjutnya, Limbah bahan berbahaya dan beracun (Limbah B3 berdasarkan Pasal 1 angka (22) UUPPLH adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. Kemudian, Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 berdasarkan Pasal 1 angka (20) UUPPLH adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.

Pengelolaan limbah B3 berdasarkan Pasal 1 angka (23) UUPPLH adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 berdasarkan Pasal 59 ayat (7) UUPPLH, diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Memperhatikan ketentuan Pasal 124 UUPPLH yang menetapkan masih berlakunya peraturan pelaksana UUPLH, sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti. Adapun Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pengelolaan Limbah B3 saat ini yaitu: Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PP No. 18/1999), yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PP No. 85/1999. PP No. 18/1999).

Berdasarkan Pasal 8 PP 85/1999, mengenai limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran Tabel I, Tabel 2 PP 85/1999, apabila terbukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) PP 85/1999 dan atau ayat (4), maka limbah tersebut merupakan limbah B3, jika limbah tersebut berdasarkan uji karekteristik mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi dan korosif, dan/atau berdasarkan pengujian toksikologi limbah tersebut bersifat akut dan/atau kronik.
Pengelolaan Limbah B3, berdasarkan Pasal 1 angka (3) PP 18/1999 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3.

Berkaitan dengan pengelolaan limbah B3, Pasal 59 UUPPLH, menentukan bahwa:
1. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
2. Dalam hal B3 yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan B3, mengangkut B3, mengedarkan B3, menyimpan B3, memanfaatkan B3, membuang B3, mengolah B3, dan atau menimbun B3 yang telah kedaluwarsa, maka pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
3. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
4. Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
5. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.
6. Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

II. Kewajiban setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatannya, termasuk pengelolaan B3. Pengelolaan hasil dari usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dilakukan secara sendiri atau diserahkan kepada pihak lain.

Pengertian pengelolaan limbah tidak terbatas pada pengelolaan limbah belaka, tetapi merupakan kegiatan yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan pengolahan limbah termasuk penimbunan hasil limbah tersebut. Pengelolaan limbah bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah usaha dan atau kegiatan serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan hidup yang tercemar dengan harapan bisa difungsikan kembali sesuai dengan peruntukkannya.

Pengelolaan limbah tidak saja meminimisasi limbahnya saja, melainkan memproses kembali limbah tersebut dengan menggunakan teknologi tertentu untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahan dan beracun limbah agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan sekaligus dapat mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.

Membuang limbah secara langsung ke media lingkungan dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Mengingat resiko yang ditimbulkan dari limbah B3, maka perlu diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat meminimalkan limbah yang dihasilkan dengan cara melakukan pengelolaan secara khusus.

Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) PP No. 18/1999, setiap Badan Usaha yang melakukan kegiatan:
a. penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab;
b. pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin pengangkutan dari Menteri Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab;
c. pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari instansi yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf “b” sampai “f” UUPPLH ditegaskan bahwa:
1. setiap orang dilarang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wialayah Negara kesatuanRepublik Indonesia.
2. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Memasukkan limbah B3 ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Membuang limbah ke media lingkungan hidup.
5. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.

Memperhatikan kembali ketentuan Pasal 124 UUPPLH yang menetapkan masih berlakunya peraturan pelaksana UUPLH, sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti, maka PP No. 18/1999, yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan PP No. 85/1999. PP No. 18/1999 sebagaimana yang telah diubah dengan PP No. 85/1999 dinyatakan masih tetap berlaku, maka ketentuan mengenai Perizinan dalam Pengelolaan Limbah B3, di atur dalam Pasal 40 sampai Pasal 46 PP No. 18/1999.

Perizinan pengelolaan limbah B3 tersebut, diatur dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (PermenLH No. 18/2009), ditetapkan:
1. Jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilengkapi dengan izin terdiri atas kegiatan:
a. pengangkutan;
b. penyimpanan sementara;
c. pengumpulan;
d. pemanfaatan;
e. pengolahan; dan
f. penimbunan.
2. Penghasil limbah B3 tidak dapat melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3.
3. Kegiatan pengumpulan limbah B3 hanya dapat diberikan izin apabila:
a. telah tersedia teknologi pemanfaatan limbah B3; dan/atau
b. telah memiliki kontrak kerja sama dengan pihak pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
4. Kontrak kerja sama penyimpanan sementara limbah B3 wajib memuat tanggung jawab masing-masing pihak bila terdapat pencemaran lingkungan.
5. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 dapat berupa a. kegiatan utama; atau b. bukan kegiatan utama.

Kegiatan pengelolaan Limbah B3 berdasarkan ketentuan Pasal 3 PermenLH 18/2009, ditetapkan bahwa:
1. kegiatan pengangkutan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
2. kegiatan penyimpanan sementara limbah B3 wajib memiliki izin dari Bupati/Walikota.
3. kegiatan pengumpulan limbah wajib memiliki izin dari:
a. Menteri untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional setelah mendapat rekomendasi dari gubernur;
b. Gubernur untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau
c. Bupati/Walikota untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.
4. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari instansi terkait sesuai kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
5. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
6. Kegiatan pengolahan dan penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Permohonan rekomendasi Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PermenLH No. 18/2009 wajib dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PermenLH No. 18/2009.

Pengangkutan limbah B3 hanya diperkenankan jika penghasil telah melakukan kontrak kerja sama dengan perusahaan pemanfaatan limbah B3, penimbun limbah B3, pengolah limbah B3, dan/atau pengumpul limbah B3.

Pengelolaan limbah B3 yang membutuhkan uji coba alat, instalasi pengolahan, metode pengolahan, dan/atau pemanfaatan harus lebih dahulu mendapat persetujuan uji coba dari Menteri. Kewenangan penerbitan persetujuan uji coba yang dimaksud didelegasikan kepada Deputi Menteri. Dan pelaksanaan uji coba tersebut disaksikan oleh staf Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara yang dihasilkan dari usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tidak diwajibkan memiliki izin, namun Produk tersebut harus telah melalui suatu proses produksi dan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), standar internasional, atau standar lain yang diakui oleh nasional atau internasional.

Kewenangan penerbitan surat rekomendasi kegiatan pengangkutan, penyimpanan sementara, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, penimbunan limbah B3 dan kontrak kerjasama penyimpanan sementara limbah B3 serta izinnya, berdasarkan ketentuan Pasal 7 PermenLH 18/2009 dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 8 PermenLH No. 18/2009, Perusahaan yang kegiatan utamanya pengelolaan limbah B3 dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri wajib memiliki asuransi pencemaran lingkungan hidup terhadap atau sebagai akibat pengelolaan limbah B3. Batas pertanggungan/tanggung jawab asuransi ditetapkan paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Perusahaan yang kegiatan utamanya berupa pengelolaan limbah B3 dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri, berdasarkan ketentuan Pasal 9 PermenLH No. 18/2009, wajib memiliki :
a. laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan; dan
b. tenaga yang terdidik di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3.

Kewajiban memiliki laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan dan tenaga yang terdidik di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3, dikecualikan terhadap jenis kegiatan pengangkutan limbah B3.

Permohononan mengajukan surat permohonan izin pengelolaan limbah B3, berdasarkan Pasal 10 PermenLH No. 18/2009 kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dan permohonan izin tersebut dilakukan dengan mengisi formulir permohonan izin pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Permohonan izin tersebut wajib dilengkapi dengan persyaratan minimal sebagaimana tercantum dalam Lampiran III PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PermenLH No. 18/2009.

Permohonan uji coba pengelolaan limbah B3 wajib dilengkapi dengan persyaratan minimal dan menggunakan formulir permohonan uji coba pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran IV PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Proses keputusan izin, berdasarkan Pasal 11 PermenLH No. 18/2009, dilakukan melalui tahapan:
1. penilaian administrasi yaitu penilaian kelengkapan persyaratan administrasi yang diajukan pemohon.
2. verifikasi teknis yaitu penilaian kesesuaian antara persyaratan yang diajukan oleh pemohon dengan kondisi nyata di lokasi kegiatan yang dilengkapi dengan Berita Acara.
3. penetapan persyaratan dan ketentuan teknis yang dimuat dalam izin yang akan diterbitkan, dan
4. finalisasi keputusan izin oleh Menteri.

Terhadap permohonan izin tersebut, berdasarkan Pasal 12 PermenLH No. 18/2009 dapat berupa penerbitan atau penolakan izin. Penolakan izin harus disertai dengan alasan penolakan. Kewenangan penolakan izin dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri. Keputusan izin dimaksud dalam Pasal 11 PermenLH N0.18/2009 diterbitkan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permohonan izin secara lengkap. Dalam hal permohonan izin belum lengkap atau belum memenuhi persyaratan, surat permohonan izin dikembalikan kepada pemohon.

Izin yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d PermenLH No. 18/2009 berbentuk Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Surat Keputusan Menteri tersebut paling sedikit memuat:
a. identitas perusahaan yang meliputi nama perusahaan, alamat, bidang usaha, nama penanggung jawab;
b. jenis pengelolaan limbah B3;
c. lokasi/area kegiatan pengelolaan limbah B3;
d. jenis dan karakteristik limbah B3;
e. kewajiban yang harus dilakukan;
f. persyaratan sebagai indikator dalam melakukan kewajiban;
g. masa berlaku izin;
h. sistem pengawasan; dan
i. sistem pelaporan.

Masa berlaku izin 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Permohonan perpanjangan izin diajukan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota 2 (dua) bulan sebelum masa berlaku izin berakhir. Permohonan perpanjangan izin menggunakan formulir permohan perpanjangan izin sebagaimana tercantum dalam Lampiran V PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Apabila terjadi perubahan terhadap jenis, karakteristik, jumlah, dan/atau cara pengelolaan limbah B3, berdasarkan Pasal 16 PermenLH 18/2009, pemohon wajib mengajukan permohonan izin baru.
Pengawasan terhadap penaatan izin pengelolaan limbah B3 sesuai dengan Pasal 17 PermenLH No. 18/2009 dilakukan oleh Menteri, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan/atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD).

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 PermenLH No. 18/2009, usaha dan/atau kegiatan pengangkutan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri yang telah memiliki izin wajib menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1) PermenLH No. 18/2009 paling lama 6 (enam) bulan. PermenLH 18/2009 mulai berlaku pada tanggal 22 Mei 2009.

III. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, selanjutnya disebut Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia, sedangkan Limbah Non B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan berupa sisa, skrap atau reja yang tidak termasuk dalam klasifikasi/kategori limbah bahan berbahaya dan beracun.

Perbedaan antara Limbah B3 dengan Limbah Non B3 terletak pada terkandung tidaknya bahan berbahaya dan beracun pada limbah yang bersangkutan. Jika limbah tersebut mengandung B3 maka limbah tersebut dikatakan Limbah B3, jika limbah tersebut tidak mengandung B3, maka limbah tersebut dikatakan limbah non B3.

Berdasarkan ketentuan PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG KETENTUAN IMPOR LIMBAH NON BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (NON B3), pengertian sisa dalam limbah non B3 adalah produk yang belum habis terpakai dalam proses produksi atau barang, yang masih mempunyai karakteristik yang sama namun fungsinya telah berubah dari barang aslinya.

Pengertian Skrap dalam limbah non B3 adalah barang yang terdiri dari komponen-komponen yang sejenis atau tidak, yang terurai dari bentuk aslinya dan fungsinya tidak sama dengan barang aslinya. Dan pengertian Reja dalam limbah non B3 adalah barang dalam bentuk terpotong-potong dan masih bersifat sama dengan barang aslinya namun fungsinya tidak sama dengan barang aslinya.

Terkait dengan pengimport besi skrap yang tidak termasuk ke dalam limbah B3 atau Limbah Non B3 ketentuannya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri tersebut di atas, Limbah Non B3 yang dapat diimpor hanya berupa Sisa, Skrap atau Reja yang digunakan untuk bahan baku dan/atau bahan penolong industri sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3). Limbah Non B3 hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang melakukan kegiatan usaha industri dan telah mendapat Pengakuan sebagai Importer Produsen Limbah Non B3 dari Direktur Jenderal. Pengakuan sebagai Importer Produsen Limbah Non B3 sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat jumlah dan jenis Limbah Non B3 yang dapat diimpor oleh Importer Produsen Limbah Non B3 beserta ketentuan teknis pelaksanaan importasinya.

Menurut Pasal 1 angka (6) dan angka (7) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), Importir Produsen Limbah Non B3 (IP LimbahNon B3) adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha industri yang disetujui untuk mengimpor sendiri Limbah Non B3 yang diperlukan semata-mata untuk proses produksi dari industrinya dan tidak boleh diperdagangkan dan/atau dipindahtangankan kepada pihak lain, sedangkan Eksportir Limbah Non B3 adalah perusahaan di negara dimana Limbah Non B3 dihasilkan dan/atau dikapalkan yang melakukan pengiriman Limbah Non B3 ke Indonesia.

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), setiap pelaksanaan impor Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non B3 wajib dilengkapi Surat Pernyataan dari Eksportir Limbah Non B3, yang menyatakan bahwa:
a. limbah yang diekspor bukan merupakan Limbah B3; dan
b. bersedia bertanggung-jawab dan menerima kembali Limbah Non B3 yang telah diekspornya apabila Limbah Non B3 tersebut terbukti sebagai Limbah B3. Dalam hal Limbah Non B3 yang diimpor sebagian atau seluruhnya terbukti sebagai Limbah B3 Limbah Non B3 dimaksud wajib dikirim kembali oleh IP Limbah Non B3 paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak kedatangan barang berdasarkan dokumen kepabeanan yang berlaku.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), diatur bahwa IP Limbah Non B3 wajib menyampaikan laporan tertulis baik melakukan maupun tidak melakukan impor Limbah Non B3 setiap 3 (tiga) bulan sekali paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya. Laporan sebagaimana dimaksud disampaikan melalui http://inatrade.depdag.go.id, dan bentuk laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dala Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).

Setiap importasi Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non B3 berdasarkan ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), wajib dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis di negara muat sebelum dikapalkan.

Pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis dilakukan oleh Surveyor yang telah memenuhi persyaratan teknis, dan ditetapkan oleh Menteri. Suveyor yang telah memenuhi persyaratan teknis adalah telah: a. memiliki Surat Izin Usaha Jasa Survey (SIUJS), berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 (lima) tahun; c. memiliki cabang atau perwakilan dan/atau afiliasi di luar negeri dan memiliki jaringan sistem informasi untuk mendukung efektifitas pelayanan verifikasi; dan d. mempunyai rekam-jejak (track records) di bidang pengelolaan kegiatan verifikasi impor.

Ruang lingkup pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis mencakup: a. identitas (nama dan alamat) importir dan eksportir dengan benar dan jelas; b. nomor dan tanggal Pengakuan sebagai IP Limbah Non B3; c. jumlah/volume atau berat, jenis dan spesifikasi, serta nomor pos tarif/HS Limbah Non B3 yang diimpor; d. keterangan waktu dan negara pengekspor/pelabuhan muat Limbah Non B3 yang diimpor; e. keterangan tempat atau pelabuhan tujuan bongkar Limbah Non B3 yang diimpor; f. keterangan dari eksportir berupa Surat Pernyataan Surat Pernyataan bahwa: limbah yang diekspor bukan merupakan Limbah B3 dan bersedia bertanggung-jawab dan menerima kembali Limbah Non B3 yang telah diekspornya apabila Limbah Non B3 tersebut terbukti sebagai Limbah B3.; dan g. keterangan lain apabila diperlukan. Dalam melaksanakan kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis, surveyor dapat melakukan kerjasama dengan surveyor yang berada di luar negeri.
Hasil verifikasi atau penelusuran teknis berdasarkan ruang lingkup dituangkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) untuk digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor. Surveyor wajib menyampaikan laporan mengenai kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis secara tertulis kepada Direktur Jenderal setiap bulan pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
Untuk bisa memasukan Limbah Non B3 maka perusahaan tersebut harus memiliki izin Importir Produsen (IP) Limbah Non B3. IP Limbah Non B3 merupakan produsen yang diakui oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan disetujui untuk mengimpor sendiri limbah Non B3 yang diperlukan semata mata untuk proses produksinya. Kewenangan pemberian Izin Usaha Limbah Non B3 berada pada Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan di Jakarta. Untuk mendapatkan Izin Usaha (IU) Limbah Non B3, diajukan permohonan kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri dengan melampirkan diantaranya: Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Angka Pengenal Importir Umum (API-U), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), NPWP, Bukti pemilikan/penguasaan gudang penimbunan yang telah diakui oleh departemen teknis/lembaga pemerintah.
Dalam hal kegiatan import besi skrap dengan tujuan Indonesia, kemudian ternyata besi skrap tersebut berdasarkan Uji Laboratorium merupakan besi skrap yang positif mengandung Limbah B3, maka memperhatikan ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2009 yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pengelolaan Limbah B3 yaitu PP No. 18 tahun 1999 dan PP No. 85 tahun 1999.
Menurut ketentuan Pasal 53 ayat (1) PP No. 18 Tahun 1999, diatur bahwa: setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3, selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (7) PP No. 18 Tahun 1999 menetapkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh Menteri yang ditugasi dalam Bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari Kepala instasi yang bertanggungjawab. Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ditetapkan bahwa impor limbah B3 sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3 dan/atau beracun yang sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Jika terjadi suatu impor yang muatannya, misalnya berupa besi skrap yang positif mengandung B3 (Limbah B3) maka berdasarkan ketentuan yang berlaku tidak dapat diimpor masuk ke Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), setiap pelaksanaan impor Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non B3 wajib dilengkapi Surat Pernyataan dari Eksportir Limbah Non B3, yang menyatakan bahwa: a. limbah yang diekspor bukan merupakan Limbah B3; dan b. bersedia bertanggung-jawab dan menerima kembali Limbah Non B3 yang telah diekspornya apabila Limbah Non B3 tersebut terbukti sebagai Limbah B3. Dalam hal Limbah Non B3 yang diimpor sebagian atau seluruhnya terbukti sebagai Limbah B3 maka Limbah Non B3 dimaksud wajib dikirim kembali oleh IP Limbah Non B3 paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak kedatangan barang berdasarkan dokumen kepabeanan yang berlaku.
Ketentuan Pasal 13 Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), menetapkan bahwa Importir yang mengimpor Limbah Non B3 tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Import limbah B3 ataupun pengimporan besi skrap yang mengandung limbah B3 dinyatakan dilarang atau tidak boleh dilakukan, jika tetap dilakukan mempunyai konsekuensi sebagai bentuk pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d UUPPLH, dan terhadap pelaku dapat dikenakan Pasal 106 UUPPLH.
Ketentuan Pasal 106 UU PPLH, berbunyi: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipinana dengan penjara paling singkat 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,– dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,–
Memperhatikan ketentuan UUPPLH, tidak ada toleransi terhadap import limbah B3, termasuk import besi skrap yang mengandung limbah B3. Besi skrap yang mengandung limbah B3 pada dasarnya juga merupakan limbah B3. Jika besi skrap yang diimpor mengandung limbah B3, maka import besi skrap tersebut tidak dapat dilakukan, dan jika impor tersebut tetap juga dilakukan, maka import tersebut merupakan perbuatan yang di larang dan melanggar ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf d jo Pasal 106 UUPPLH.
Selanjutnya, jika besi skrap yang diimpor tidak mengandung limbah B3 atau sebagai Limbah Non B3, dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang mengatur tentang impor limbah non B3 yang harus dipatuhi diantaranya Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), Setiap importasi Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non B3 wajib dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis di negara muat sebelum dikapalkan. Pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis dilakukan oleh Surveyor yang telah memenuhi persyaratan teknis, dan ditetapkan oleh Menteri.
Surveyor yang telah memenuhi persyaratan teknis yaitu surveyor yang a. memiliki Surat Izin Usaha Jasa Survey (SIUJS); b. berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 (lima) tahun; c. memiliki cabang atau perwakilan dan/atau afiliasi di luar negeri dan memiliki jaringan sistem informasi untuk mendukung efektifitas pelayanan verifikasi; dan d. mempunyai rekam-jejak (track records) di bidang pengelolaan kegiatan verifikasi impor.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), Menteri Perdagangan berkoordinasi dengan Menteri teknis terkait untuk membentuk Satuan Tugas penanganan permasalahan importasi Limbah Non B3. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan dapat membentuk Tim Pengawasan dalam rangka evaluasi dan monitoring pelaksanaan importasi Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non B3.
Mengimpor besi skrap yang mengandung limbah B3 dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan Pasal 69 ayat (1) huruf d jo Pasal 106 UU No. 32/2009. Dalam hal adanya impurities (pengotor) yang terbawa oleh limbah Non B3 dalam melaksanakan impor yang mengandung Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam PP No. 18 tahun 1999 dan PP 85 tahun 1999, berarti limbah tersebut termasuk ke dalam limbah B3, karena sudah masuk ke dalam limbah B3, limbah tersebut tidak dapat ditolerir masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika impurities (pengotor) tersebut termasuk dalam daftar limbah B3, maka ketentuannya yaitu PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 85 Tahun 1999. Ketentuan yang lebih rendah tidak dapat menyampingkan ketentuan yang lebih tinggi, hal ini sesuai dengan asas Lex superior derogat legi inperiori (kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan).
IV. Importir Limbah Non B3, namun dalam kenyataannya limbah yang di impor tersebut mengandung B3, maka Importir tersebut pada dasarnya telah mengimpor Limbah B3, dan terhadap Importir Produsen Limbah Non B3 (IP Limbah Non B3) wajib mengirim kembali limbah tersebut ke negara asal paling lambat 90 hari sejak kedatangan barang berdasarkan dokumen kepabeanan yang berlaku. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka importir dikenakan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (1) jo Pasal 106 UUPPLH.

PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 18 Tahun 1999
TENTANG
PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan;
b. bahwa dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia;
c. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
M E M U T U S K A N :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGELOLAAN
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. �� Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;
2. �� Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
3. �� Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3;
4. �� Reduksi limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi jumlah dan mengurangi sifat bahaya dan racun limbah B3, sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan;
5. �� Penghasil limbah B3 adalah orang yang usaha dan/atau kegiatannya menghasilkan limbah B3;
6. �� Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan dengan tujuan untuk mengumpulkan limbah B3 sebelum dikirim ke tempat pengolahan dan/atau pemanfaatan dan/atau penimbunan limbah B3;
7. �� Pengangkut limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3;
8. �� Pemanfaat limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3;
9. �� Pengolah limbah B3 adalah badan usaha yang mengoperasikan sarana pengolahan limbah B3;
10. Penimbun limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan limbah B3;
11. Pengawas adalah pejabat yang bertugas di instansi yang bertanggung jawab melaksanakan pengawasan pengelolaan limbah B3;
12. Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara;
13. Pengumpulan limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum diserahkan kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3;
14. Pengangkutan limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3 dari penghasil dan/atau dari pengumpul dan/atau dari pemanfaat dan/atau dari pengolah ke pengumpul dan/atau ke pemanfaat dan/atau ke pengolah dan/atau ke penimbun limbah B3;
15. Pemanfaatan limbah B3 adalah suatu kegiatan perolehan kembali (recovery) dan/atau penggunaan kembali (reuse) dan/atau daur ulang (recycle) yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia;
16. Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah karakeristik dan komposisi limbah B3 untuk menghilangkan dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau sifat racun;
17. Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3 pada suatu fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup;
18. Orang adalah orang perorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
19. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
20. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2
Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali.
Pasal 3
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Pasal 4
Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 dilarang melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah B3.
Pasal 5
Pengelolaan limbah radio aktif dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan radio aktif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.




BAB II
IDENTIFIKASI LIMBAH B3
Pasal 6
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan karakteristiknya.
Pasal 7
(1) Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi :
a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
b. Limbah B3 dari sumber spesifik;
c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
(2) Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah dilakukan uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan/atau uji karakteristik.
(3) Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum dalam lampiran I Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 8
(1) � Limbah yang tidak termasuk dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diidentifikasi sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut :
a. mudah meledak;
b. mudah terbakar;
c. bersifat reaktif;
d. beracun;
e. menyebabkan infeksi; dan
f. bersifat korosif.
(2) Limbah yang temasuk limbah B3 adalah limbah lain yang apabila diuji dengan metode toksikologi memiliki LD50 di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan.




BAB III
PELAKU PENGELOLAAN
Bagian Pertama
Penghasil
Pasal 9
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3.
(2) Apabila kegiatan reduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih menghasilkan limbah B3, dan limbah B3 tersebut masih dapat dimanfaatkan, penghasil dapat memanfaatkannya sendiri atau menyerahkan pemanfaatannya kepada pemanfaat limbah B3.
(3) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengolah limbah B3 yang dihasilkannya sesuai dengan teknologi yang ada dan jika tidak mampu diolah di dalam negeri dapat diekspor ke negara lain yang memiliki teknologi pengolahan limbah B3.
(4) Pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sendiri oleh penghasil limbah B3 atau penghasil limbah B3 dapat menyerahkan pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang dihasilkannya itu kepada pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
(5) Penyerahan limbah B3 kepada pemanfaat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak mengurangi tanggung jawab penghasil limbah B3 untuk mengolah limbah B3 yang dihasilkannya.
(6) Ketentuan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan kegiatan skala kecil ditetapkan kemudian oleh instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 10
(1)   Penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sebelum menyerahkannya kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3.
(2)   Bila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 (lima puluh) kilogram per hari, penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya lebih dari 90 (sembilan puluh) hari sebelum diserahkan kepada pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3, dengan persetujuan instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 11
(1) Penghasil limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan tentang :
a. �� jenis, karakteristik, jumlah dan waktu dihasilkannya limbah B3;
b. �� jenis, karakteristik, jumlah dan waktu penyerahan limbah B3;
c. �� nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3.
(2) � Penghasil limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk :
a. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dihasilkan;
b. sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.

Bagian Kedua
Pengumpul
Pasal 12
Pengumpul limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3.
Pasal 13
(1) Pengumpul limbah B3 wajib membuat catatan tentang :
a. �� jenis, karakteristik, jumlah limbah B3 dan waktu diterimanya limbah B3 dari penghasil limbah B3;
b. �� jenis, karakteristik, jumlah, dan waktu penyerahan limbah B3 kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3;
c. �� nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
(2) Pengumpul limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk;
a. �� inventarisasi jumlah limbah B3 yang dikumpulkan;
b. �� sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.
Pasal 14
(1) Pengumpul limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dikumpulkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sebelum diserahkan kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
(2) Pengumpul limbah B3, bertanggung jawab terhadap limbah B3 yang dikumpulkan.
Bagian Ketiga
Pengangkut
Pasal 15
(1)      Pengangkut limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3.
(2)      Pengangkutan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil limbah B3 untuk limbah yang dihasilkannya sendiri.
(3)      Apabila penghasil limbah B3 bertindak sebagai pengangkut limbah B3, maka wajib memenuhi ketentuan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3.
Pasal 16
(1)    Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut limbah B3 wajib disertai dokumen limbah B3.
(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dokumen limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 17
Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3 dan dokumen limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3 yang ditunjuk oleh penghasil limbah B3.
Bagian Keempat
Pemanfaat
Pasal 18
Pemanfaat limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3.
Pasal 19
(1) Pemanfaat limbah yang menghasilkan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai penghasil limbah B3.
(2) Pemanfaat limbah B3 yang dalam kegiatannya melakukan pengumpulan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai pengumpul limbah B3.
(3) Pemanfaat limbah B3 yang melakukan pengangkutan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai pengangkut limbah B3.
Pasal 20
Pemanfaat limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 sebelum dimanfaatkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.


Pasal 21
Pemanfaat limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai :
a. �� sumber limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. �� jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang dikumpulkan;
c. �� jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan dan produk yang dihasilkan;
d. �� nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3 dari penghasil dan/atau pengumpul limbah B3.
Pasal 22
(1) � Pemanfaat limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
(2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk :
a. �� inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. �� sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.

Bagian Kelima
Pengolah
Pasal 23
(1)     Pengolah limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan pengolahan limbah B3.
(2)     Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang akan diolah paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
(3)     Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
Pasal 24
(1) Pengolah limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai :
a. sumber limbahB3 yang diolah;
b. jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang diolah;
c. nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3.
(2) � Pengolah limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi terkait dan Bupati/Wali kotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk :
a. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.

Bagian Keenam
Penimbun
Pasal 25
(1) Penimbun limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan limbah B3.
(2) Penimbunan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil untuk menimbun limbah B3 sisa dari usaha dan/atau kegiatannya sendiri.
Pasal 26
(1) Penimbun limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai:
a. sumber limbah B3 yang ditimbun;
b. jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang ditimbun;
c. nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3.
(2) � Penimbun limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk :
a. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3.



BAB IV
KEGIATAN PENGELOLAAN
Bagian Pertama
Reduksi Limbah B3
Pasal 27
(1)   Reduksi limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya menyempurnakan penyimpanan bahan baku dalam kegiatan proses (house keeping), substitusi bahan, modifikasi proses, serta upaya reduksi limbah B3 lainnya.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai reduksi limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kedua
Pengemasan
Pasal 28
(1)   Setiap kemasan limbah B3 wajib diberi simbol dan label yang menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai simbol dan label limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Ketiga
Penyimpanan
Pasal 29
(1)      Penyimpanan limbah B3 dilakukan ditempat penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan.
(2)      Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi syarat :
a.  lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana dan di luar kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang;
b.  rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya pengendalian pencemaran lingkungan .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Keempat
Pengumpulan
Pasal 30
(1) Kegiatan pengumpulan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. �� memperhatikan karakteristik limbah B3;
b. �� mempunyai laboratorium yang dapat mendeteksi karakteristik limbah B3 kecuali untuk toksikologi;
c. �� memiliki perlengkapan untuk penanggulangan terjadinya kecelakaan;
d. �� memiliki konstruksi bangunan kedap air dan bahan bangunan disesuaikan dengan karakteristik limbah B3;
e. mempunyai lokasi pengumpulan yang bebas banjir.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kelima
Pengangkutan
Pasal 31
Penyerahan limbah B3 oleh penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah kepada pengangkut wajib disertai dokumen limbah B3
Pasal 32
Pengangkutan limbah B3 dilakukan dengan alat angkut khusus yang memenuhi persyaratan dengan tata cara pengangkutan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keenam
Pemanfaatan
Pasal 33
(1) Pemanfaatan limbah B3 meliputi perolehan kembali (recovery), penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Ketujuh
Pengolahan
Pasal 34
(1) � Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal, stabilisasi dan solidifikasi, secara fisika, kimia, biologi dan/atau cara lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi.
(2) ������ Pemilihan lokasi untuk pengolahan limbah B3 harus memenuhi ketentuan :
a. �� bebas dari banjir, tidak rawan bencana dan bukan kawasan lindung;
b. �� merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri berdasarkan rencana tata ruang.
(3) Pengolahan limbah B3 dengan cara stabilisasi dan solidifikasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. �� melakukan analisis dengan prosedur ekstraksi untuk menentukan mobilitas senyawa organik dan anorganik (Toxicity Characteristic Leaching Procedure);
b. �� melakukan penimbunan hasil pengolahan stabilisasi dan solidifikasi dengan ketentuan penimbunan limbah B3 (landfill).
(4) Pengolahan limbah B3 secara fisika dan/atau kimia yang menghasilkan:
a.��� limbah cair, maka limbah cair tersebut wajib memenuhi baku mutu limbah cair;
b. �� limbah padat, maka limbah padat tersebut wajib memenuhi ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.
(5) Pengolahan limbah B3 degan cara thermal dengan meoperasikan insinerator wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. �� mempunyai insinerator dengan spesifikasi sesuai dengan karakteristik dan jumlah limbah B3 yang diolah;
b. �� mempunyai insinerator yang dapat memenuhi efisiensi pembakaran minimal 99,99 % dan efisiensi penghancuran dan penghilangan sebagai berikut :
1) �� efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Principle Organic Hazard Constituent (POHCs) 99,99%;
2) �� efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Biphenyl (PCBs) 99,9999 %;
3) �� efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenzofurans 99,9999 %;
4) �� efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenso-P-dioxins 99,9999 %.
c. �� memenuhi standar emisi udara;
d. �� residu dari kegiatan pembakaran berupa abu dan cairan wajib dikelola dengan mengikuti ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pengolahan limbah B3 ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.


Pasal 35
Penghentian kegiatan pengolahan limbah B3 oleh pengolah wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedelapan
Penimbunan
Pasal 36
Lokasi penimbunan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. �� bebas dari banjir;
b. �� permeabilitas tanah maksimum 10 pangkat negatif 7 centimeter per detik;
c. �� merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai lokasi penimbunan limbah B3 berdasarkan rencana tata ruang;
d. �� merupakan daerah yang secara geologis dinyatakan aman, stabil tidak rawan bencana dan di luar kawasan lindung;
e. �� tidak merupakan daerah resapan air tanah, khususnya yang digunakan untuk air minum.
Pasal 37
(1) Penimbunan limbah B3 wajib menggunakan sistem pelapis yang dilengkapi dengan saluran untuk pengaturan aliran air permukaan,� pengumpulan air lindi dan pengolahannya, sumur pantau dan lapisan penutup akhir yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenani tata cara dan persyaratan penimbunan limbah B3 ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 38
Penghentian kegiatan penimbunan limbah B3 oleh penimbun wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 39
(1) Terhadap lokasi penimbunan limbah B3 yang telah dihentikan kegiatannya wajib memenuhi hal-hal sebagai berikut :
a. �� menutup bagian paling atas tempat penimbunan dengan tanah setebal minimum 0,60 meter;
b. �� melakukan pemagaran dan memberi tanda tempat penimbunan limbah B3;
c. �� melakukan pemantauan kualitas air tanah dan menanggulangi dampak negatif yang mungkin timbul akibat keluarnya limbah B3 ke lingkungan, selama minimum 30 tahun terhitung sejak ditutupnya seluruh fasilitas penimbunan limbah B3;
d. �� peruntukan lokasi penimbun yang telah dihentikan kegiatannya tidak dapat dijadikan pemukiman atau fasilitas umum lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala istansi yang bertanggung jawab.

BAB V
TATA LAKSANA
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 40
(1) Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan :
a. �� penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab.
b. �� Pengangkut limbah B3 wajib memeliki izin penggangkutan dari menteri perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab.
c. �� pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari intansi yang berwenang merberikan izin pemanfaatan setalah mendapat rekomendasi dari kepala intansi yang bertanggung jawab.
(2) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab, dan ayat (1) huruf b dan huraf c di tetapkan oleh kepala intansi yang berwenang memberikan izin. .
(3) � Kegiatan pengolahan limbah B3 yang terintegrasi dengan kegiatan pokok wajib memperoleh izin operasi alat pengolahan limbah B3 yang dikeluarkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab
(4) � Persyaratan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. �� memiliki akte pendirian sebagai badan usaha yang, telah disyahkan oleh instansi yang berwenang;
b. �� nama dan alamat badan usaha yang memohon izin;
c. �� kegiatan yang dilakukan;
d. �� lokasi tempat kegiatan;
e. �� nama dan alamat penanggung jawab kegiatan;
f. ��� bahan baku dan proses kegiatan yang digunakan;
g. �� spesifikasi alat pengelolaan limbah;
h. �� jumlah dan karakteristik limbah B3 yang disimpan, dikumpulkan, dimanfaatkan, diangkut, diolah atau ditimbun;
i. ���� tata letak saluran limbah, pengolahan limbah, dan tempat penampungan sementara limbah B3 sebelum diolah dan tempat penimbunan setelah iolah;
j. ���� alat pencegah pencemaran untuk limbah cair, emisi, dan pengolahan limbah B3.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin sebagai di maksud pada ayat [3] dan tata cara permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat [1] huruf b dan huruf c ditetapkan oleh kepala intansi yang bertanggung jawab.
Pasal 41
(1) Keputusan mengenai izin dan rekomendasi pengolaan limbah B3 yang diberikan oleh kepala intansi yang bertanggung jawab sebagaimana di maksud dalam pasal 40 wajib di umumkan kepasa masyarakat..
(2) Tata cara pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan ketetapan kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 42
(1) Izin lokasi pengolahan dan penimbunan limbah B3 diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sesuai rencana tata ruang setelah mendapat rekomendasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil penelitian tentang dampak lingkungan dan kelayakan teknis lokasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 36.
Pasal 43
(1) � Untuk kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang belaku.
(2) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup diberikan oleh kepala stansi yang bertanggung jawab.
Pasal 44
(1) � Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 45 [empat puluh lima]. hari kerja terhitung sejak di terimanya..
(2) Syarat dan kewajiban dalam analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah disetujui merupakan bagian yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).


Pasal 45
(1) Kegiatan baru yang menghasilkan limbah B3 yang melakukan pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 yang lokasinya sama dengan kegiatan utamanya, maka analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan pengolahan limbah B3 dibuat secara terintegrasi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan utamanya.
(2) Apabila pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil dan pemanfaat limbah B3 di lokasi kegiatan utamanya, maka hanya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui yang diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
(3) Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui.
(4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
Pasal 46
(1) Apabila penghasil dan/atau pemanfaat limbah B3 bertindak sebagai pengolah limbah B3 dan lokasi pengolahannya berbeda dengan lokasi kegiatan utamanya, maka terhadap kegiatan pengolahan limbah B3 tersebut berlaku ketentuan mengenai pengolahan limbah B3 dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Untuk kegiatan pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utamanya wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sedangkan untuk kegiatan yang terintegrasi dengan kegiatan utamanya wajib membuat rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(3) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab dan persetujuan atas dokumen tersebut diberikan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana yang telah disetujui wajib dicantumkan dalam izin� sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.

Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 47
(1) Pengawasan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh Menteri dan pelaksanaanya diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemantauan terhadap penaatan persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah, dan penimbun limbah B3.
(3) Pelaksanaan pengawasan pengelolaan limbah B3 di daerah dilakukan menurut tata laksana yang ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.
(4) Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat pada tingkat nasional dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab dan pada tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Pasal 48
(1) Pengawas dalam melaksanakan pengawasan pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dilengkapi tanda pengenal dan surat tugas yang dikeluarkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(2) Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. memasuki areal lokasi penghasil, pemanfaatan, pengumpulan, pengolahan dan penimbun limbah B3;
b. mengambil contoh limbah B3 untuk diperiksa di laboratorium;
c. meminta keterangan yang berhubungan dengan pelaksanaan pengelolaan limbah B3;
d. melakukan pemotretan sebagai kelengkapan laporan pengawasan.
Pasal 49
Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib membantu petugas pengawas dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2).
Pasal 50
Apabila dalam pelaksanaan pengawasan ditemukan indikasi adanya tindak pidana lingkungan hidup maka pengawas selaku penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup dapat melakukan penyidikan.
Pasal 51
(1) Instansi yang bertanggung jawab menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri.
(2) � Menteri mengevaluasi laporan tersebut guna menyusun kebijakan pengelolaan limbah B3.
Pasal 52
(1) Untuk menjaga kesehatan pekerja dan pengawas yang bekerja di bidang pengelolaan limbah B3 dilakukan uji kesehatan secara berkala.
(2) Uji kesehatan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pengelolaan limbah B3
(3) � Uji kesehatan bagi pengawas pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kesehatan tenaga kerja.


Bagian Ketiga
Perpindahan Lintas Batas
Pasal 53
(1) Setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3.
(2) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Indonesia dengan tujuan transit, wajib memiliki persetujuan tertulis terlebih dahulu dari kepala intansi yang bertanggung jawab..
(3) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Republik Indonesia wajib diberitahukan terlebih dahulu secara tertulis kepada kepala instansi yang bertanggung jawab.
(4) Pengiriman limbah B3 ke luar negeri dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan kepala instansi yang bertanggung jawab.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh Menteri yang ditugasi dalam bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari kepala instansi yang bertanggung jawab..

Bagian Keempat
Informasi dan Pelaporan
Pasal 54
(1) Setiap orang berhak atas informasi mengenai pengelolaan limbah B3.
(2) Instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada setiap orang secara terbuka.
Pasal 55
(1) Setiap orang berhak melaporkan adanya potensi maupun keadaan telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah B3.
(2) � Pelaporan tentang adanya peristiwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disampaikan secara lisan atau tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab atau aparat pemerintah terdekat. .
(3) � Aparat pemerintah yang menerima pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat [2] wajib meneruskan laporan tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 3[tiga] hari kerja setelah diterimanya pelaporan..
Pasal 56
(1) � Instansi yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 wajib segera menindaklanjuti laporan masyarakat.
(2) � Proses tindak lanjut maupun hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada pelapor dan/atau masyarakat yang berkepentingan
Pasal 57
Tata cara dan mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 diatur lebih lanjut oleh Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Penanggulangan dan Pemulihan
Pasal 58
(1) Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 bertanggung jawab atas penanggulangan kecelakaan dan pencemaran lingkungan hidup akibat lepas atau tumpahnya limbah B3 yang menjadi tanggung jawabnya.
(2) Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah, dan penimbun limbah B3 wajib memiliki sistem tanggap darurat.
(3) Penanggung jawab pengelolaan limbah B3 wajib memberikan informasi tentang sistem tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada masyarakat.
(4) Penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun limbah B3 wajib segera melaporkan tumpahnya bahan berbahaya dan beracun [B3] dan limbah B3 ke lingkungan kepada instansi yang bertanggung jawab limbah B3 ke lingkungan kepada instansi yang bertanggung jawab dan/atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat .II
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kecelakaan dan pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab..

Bagian Keenam
Pengawasan Penanggulangan Kecelakaan
Pasal 59
(1) Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan di daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II untuk skala yang bisa ditanggulangi oleh kegiatan penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun.
(2) Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan untuk skala yang tidak dapat ditanggulangi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II, maka Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II secara bersama-sama melakukan pengawasan.
(3) Pelaksanaan penanggulangan kecelakaan pada penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun yang dampaknya sangat besar sehingga mencakup dua wilayah daerah tingkat II pengawasannya dilakukan secara bersama-sama oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I.
(4) Pelaksanaan penanggulangan kecelakaan pada penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun yang dampaknya sangat besar sehingga Pemerintah Daerah Tingkat II tidak bisa mengawasi pengawasannya dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I.
Pasal 60
(1) � Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib segera menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatannya.
(2) � Apabila penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 tidak melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atau tidak dapat menanggulangi sebagaimana mestinya, maka instansi yang bertanggung jawab dapat melakukan penanggulangan dengan biaya yang dibebankan kepada penghasil, dan/atau pemanfaat, dan/atau pengumpul, dan/atau pengangkut, dan/atau pengolah, dan/atau penimbun limbah B3 yang bersangkutan melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Bagian keenam
Pembiayaan
Pasal 61
(1) Segala biaya untuk memperoleh izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 dibebankan kepada pemohon izin.
(2) � Beban biaya permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya studi kelayakan teknis untuk proses perizinan.
(3) � Untuk pemantauan dan/atau pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh :
a. instansi yang bertanggung jawab dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN);
b. instansi yang bertanggung jawab daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI
SANKSI
Pasal 62
(1) Instansi yang bertanggung jawab memberikan peringatan tertulis kepada penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah atau penimbun yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 28, Pasal 29 Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 52 ayat (2), Pasal 58, dan Pasal 60.
(2) Apabila dalam jangka waktu 15 [lima belas]. hari sejak dikeluarkannya peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang diberi peringatan tidak mengindahkan peringatan atau tetap tidak mematuhi ketentuan pasal yang dilanggarnya, maka kepala instansi yang bertanggung jawab dapat menghentikan sementara atau mencabut sementara izin penyimpanan, pengumpulan, pengolahan termasuk penimbunan limbah B3 sampai pihak yang
diberi peringatan mematuhi ketentuan yang dilanggarnya, dan bilamana dalam batas waktu yang ditetapkan tidak diindahkan maka izin operasi dicabut.
(3) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menghentikan sementara kegiatan operasi atas nama instansi yang berwenang dan/atau instansi yang bertanggung jawab apabila pelanggaran tersebut dapat membahayakan lingkungan hidup.
(4) kepala instansi yang bertanggung jawab wajib dengan segera mencabut keputusan penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) apabila pihak yang dihentikan sementara kegiatan operasinya telah mematuhi ketentuan yang dilanggarnya.
Pasal 63
Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, pasal 39dan Pasal 60 yang mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana sebagaimana diatur pada Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.